
Semangat perjuangan petani untuk reklaiming hak komunalnya atas tanah di Desa Gunung Anten Kabupaten Lebak Provinsi Banten terutama dipicu oleh krisis agraria yang dirasakan masyarakat yang mengalami ketimpangan sosial-ekonomi, termasuk ketimpangan penguasaan tanah. Di saat yang sama, pada tahun 1985 terdapat lahan konsesi perkebunan karet seluas 1.100 hektar yang diberikan pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT The Bantam Preanger dan Rubber (PT Bantam) yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya dan ditelantarkan.
Hal ini mendorong petani untuk melakukan penggarapan tanah sesuai kearifan lokal dengan menanaminya berbagai tanaman pertanian seperti kopi, kelapa, duren, rambutan, petai, pisang dan kayu albasia. Namun dalam perjalanannya, penggarapan yang dilakukan oleh petani mengalami banyak tantangan. Mulai dari perusahaan yang memaksa petani untuk menebang tanaman karet yang ditanami dengan alasan perusahaan akan menjalankan program penanaman kembali di lahan terlantar, kriminalisasi para petani, intimidasi menggunakan jasa preman untuk merusak tanaman petani sampai pada pengusiran petani dari tanah garapannya.
Konflik agraria terus berlangsung hingga melahirkan gerakan perjuangan petani untuk melakukan reklaiming tanah yang sangat dibutuhkan masyarakat untuk menopang kehidupannya. Pada tahun 2010, petani mulai menyadari gerakan mereka yang belum terkoordinir dengan baik sehingga petani membangun serikat tani Pergerakan Petani Banten (P2B) untuk melahirkan gerakan kolektif dan lebih terorganisir yang bertujuan untuk mendesak penyelesaian konflik agraria dan pemenuhan hak dasar atas tanah.

Setelah perjuangan panjang selama 34 tahun, pada Oktober 2023 petani berhasil melakukan reklaiming melalui redistribusi tanah melalui program reforma agraria di lahan eks-HGU PT Bantam dan Preanger Rubber yang tidak diperpanjang kembali sejak tahun 2002. Petani kemudian mendapatkan 12 sertifikat tanah komunal seluas 127 hektar yang diberikan kepada 195 petani yang tergabung dalam P2B berada di lima desa, dua kecamatan. Dari total redistribusi tanah tersebut, sebanyak 65 bidang tanah atau 33% merupakan hak milik atas nama perempuan petani dan 25% lainnya dimiliki oleh petani muda yang berusia 35 tahun ke bawah.
Abay Haetami selaku Ketua P2B menyebutkan, “Kami merasa bersyukur, kami sudah berjuang puluhan tahun dan bisa menangkan redistribusi lahan. Kemenangan ini sebenarnya bukan pemberian pemerintah tetapi komitmen dari organisasi Pergerakan Petani Banten yang terus berjuang dan mendesak pemerintah untuk memberikan petani hak komunalnya atas tanah.”
Kepemilikan lahan dengan sistem komunal atau bersama menjadi pilihan serikat untuk memastikan penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah di tangan petani agar dapat terjaga dan berkelanjutan. Skema komunal ini juga membuat masyarakat tidak bisa menjual sertifikat tanahnya secara sepihak tanpa persetujuan dari pemilik tanah lainnya.
Lebih lanjut, Abay menyampaikan, “Setelah redistribusi lahan maka P2B akan fokus untuk penguatan kapasitas anggota organisasinya melalui inisiatif pendirian Sekolah Rakyat. Tujuannya untuk meningkatkan pemahaman petani mengenai reforma agraria, pelatihan pembuatan bibit dan kompos, pengajian ibu-ibu, majelis taklim dan menjadi sekolah alternatif bagi anak-anak tingkat PAUD dan SD karena di sini jauh dari sekolah tetapi sekolahnya itu menginduk di sekolah formal yang ada.”

Gagasan dan inisiatif pembangunan Sekolah Rakyat seakan gayung bersambut dengan adanya dukungan Nusantara Fund untuk mendukung pembangunannya. Kami merasa bersyukur dan berterima kasih, apa yang kami harapkan terwujud
Bapak Abay
Melalui dukungan Nusantara Fund, organisasi P2B berhasil mewujudkan pembangunan infrastruktur Sekolah Rakyat yang dibangun diatas 2500 m2 yang terletak di lokasi lahan kolektif hasil redistribusi lahan. Gedung ini kemudian dimanfaatkan untuk pembelajaran rutin bagi anak-anak sebanyak 16 orang terdiri dari; 6 orang siswa/siswi PAUD dan 10 orang siswa/siswi SD. Selain itu, Sekolah Rakyat juga dimanfaatkan sebagai Pendidikan rakyat seperti; pelatihan pengelolaan tanah, tata produksi, tata konsumsi sampai pemasaran, pengolahan pertanian, cara pembuatan pupuk dan cara penyambungan pucuk dengan melibatkan BPN dan Dinas Pertanian sebagai pembicara.


