TOTAL DANA AGUSTUS 2023 - JULI 2024

$250,000

Institutional Support

TOTAL DANA OKTOBER 2024 - SEPTEMBER 2029

$5,000,000

General Support

TOTAL DUKUNGAN DANA $800,000

Agustus 2023 - September 2024 ( $300,000 )
Februari 2025 - Juli 2026 ( $500,000 )

Pendanaan Langsung ( Re-Granting )

TOTAL DUKUNGAN DANA 2023 - 2025

$550,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA 2024 - 2026

$2,500,000

Re-Granting - Core Support - Endowment

Perjuangan Uma Saerejen untuk Pengakuan Wilayah Adat

Di Kepulauan Mentawai, komunitas Masyarakat Adat Uma Saerejen masih senantiasa menjaga hutan, tanah, dan tradisi dalam kesehariannya. Bertempat di Dusun Sirilanggai, Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Berjarak 10 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten dan dapat ditempuh dengan transportasi laut dari Padang selama 4 jam hingga 12 jam, tergantung jenis transportasi laut yang digunakan: kapal cepat untuk 4 jam atau kapal feri dengan waktu tempuh 12 jam. 

Malancan merupakan desa kecil, dengan  jumlah penduduk sebanyak 15 Kepala Keluarga (KK). Rata-rata setiap KK terdiri dari 4-6 orang. Di Desa Malancan, 32 orang laki-laki dan 23 orang perempuan yang memiliki hak bersama terhadap wilayah adat Uma Saerejen.

Uma Saerejen adalah bagian dari Masyarakat Adat yang terancam oleh berbagai konflik lahan dan eksploitasi di wilayah adatnya, dengan perusahaan yang mengantongi izin penebangan kayu. Namun, di tengah ancaman itu, muncul harapan untuk pengakuan hak atas wilayah adat melalui usaha pemetaan wilayah adat.

Terletak di Desa Malancan, Uma Saerejen adalah salah satu dari 26 suku yang menempati wilayah desa ini. “Uma” adalah sebutan untuk kesatuan Masyarakat Adat atau suku, dan “Saerejen” merupakan nama marga yang menghubungkan generasi-generasi yang hidup bersama di wilayah adatnya. Di Desa Malancan terdapat keseluruhan 20 – 30 marga yang terbagi ke dalam 7 Uma. 

Dari ketujuh uma tersebut, sudah terdapat tiga Uma yang mendapat pengakuan, yaitu Saponduruk, Samongilailai, dan Satanduk dari Pemda Mentawai dan sedang diupayakan untuk mendapat pengakuan hutan adat. Namun sampai sekarang belum membuahkan hasil.

Barnabas: Hutan Adat Sumber Penghidupan
  1. Di usia 42 tahun, Bapak Barnabas salah satu anggota Komunitas Masyarakat Adat Uma Saerejen yang dipercaya sebagai Pengurus di lembaga adat Uma Saerejen, sebuah posisi yang diembannya dengan penuh tanggung jawab. Setiap pagi, ia berjalan sekitar satu kilometer menuju ladang di wilayah adatnya yang ia kelola bersama keluarganya untuk sumber penghidupan. Di ladang, Bapak Barnabas bersama keluarganya menanam pinang dan pisang, dua jenis tanaman utama yang kini dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Tidak hanya Bapak Barnabas dan keluarganya yang menggantungkan hidup dari Hutan Adat Saerejen, seluruh masyarakat di Uma Saerejen setiap harinya berjalan menuju ladangnya yang berjarak cukup jauh untuk mendapatkan hasil ladang demi memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sehingga, merawat dan menjaga hutan tidak luput dari aktivitas keseharian Masyarakat Adat Uma Saerejen. Bagi masyarakat Saerejen, tanah dan hutan adalah sumber pangan dan kehidupan yang menjaga identitasnya sebagai Masyarakat Adat.

Selain itu, Masyarakat Adat Uma Saerejen memiliki pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengenali, menjaga, mengelola, dan memanfaatkan potensi-potensi di dalam wilayah adatnya. Pengetahuan yang diwarisi dari nenek moyang ini masih terus hidup dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pengetahuan tersebut adalah tentang pembagian ruang dalam wilayah adat dengan fungsi pengelolaan dan pemanfaatan masing-masing, yakni:

  • Leleu berarti gunung atau perbukitan merupakan areal hutan yang masih lebat dan berbukit-bukit dimanfaatkan untuk perladangan, beternak babi, tempat berburu, mencari dan mengumpulkan hasil hutan.
  • Onaja berarti rawa.
  • Suksuk berarti lembah atau dataran rendah untuk permukiman, perladangan, dan sawah.
  • Babang berarti sebagai kolam besar di onaja atau daerah berawa.
  • Bagan Oinan berarti sungai khususnya sungai besar.
  • Sopak yang berarti anak sungai yang banyak terdapat di dalam hutan, leleu dan suksuk. Bagan sopak biasanya juga menjadi salah satu tanda batas dalam sistem kepemilikan dan pembagian wilayah adat antar uma. 

Mata pencaharian utama Masyarakat Adat Uma Saerejen secara umum adalah berladang, berkebun, dan bersawah. Masyarakat memanfaatkan lahan-lahan di sekitar pemukiman dan di wilayah dusun untuk membuka ladang, kebun, dan persawahan. Terdapat satu hamparan persawahan di dusun ini yang hasil panennya cukup untuk konsumsi pangan rumah tangga. Terdapat pula hamparan kebun sagu, ladang dan kebun yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman pangan dan juga komoditi, dengan konsep multikultur, di mana terdapat berbagai jenis tanaman dalam satu hamparan ladang atau kebun. 

Tanaman pangan yang ditanam selain padi dan sagu, adalah berbagai jenis pisang dan umbi-umbian yang dalam bahasa setempat disebut kan, seperti talas atau gettek dan ketela pohon atau gobik. Pisang atau gude selain untuk konsumsi rumah tangga juga dijual pada pedagang pengumpul di dusun atau dapat pula dijual langsung ke pedagang pengumpul di daerah pelabuhan kapal di Pokai. 

Ladang dan kebun bukan hanya tempat bertani, tapi juga pusat interaksi dan gotong royong masyarakat. Setiap keluarga di Saerejen memiliki lahan sekitar 0,5 hingga 1 hektar, tergantung kemampuan mengelola dan kebutuhan. Sebagian hasil kebun masyarakat dijual sebagai pemenuhan kebutuhan harian secara cash (tunai), sebagian lainnya dijual seminggu sekali melalui kapal feri yang melintas dekat wilayah Saerejen. Pendapatan masyarakat berkisar antara Rp 200.000 hingga Rp 400.000 dari penjualan pinang dan pisang. Pendapatan yang minum untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Bapak Barnabas menceritakan bahwa Masyarakat Adat Uma Saerejen memanfaatkan apa yang ada di hutan, termasuk sagu, sebagai pangan pokok selain hasil ladang. Dengan luasnya hutan adat yang dimiliki, Uma Saerejen memiliki potensi sumber penghidupan yang tinggi dan hingga kini masyarakat bebas mengelola lahan di wilayah adatnya sesuai kebutuhan. Namun, kebebasan memanfaatkan lahan tersebut tidak luput dari ancaman konflik lahan yang terjadi antara Masyarakat Adat Uma Saerejen dengan perusahaan kayu yang mengancam keberadaan wilayah adat Uma Saerejen.

Ancaman Konflik Lahan dengan Perusahaan Kehutanan

Pada tahun 2004, perusahaan pengolah kayu itu memperoleh izin penebangan kayu hutan alam dari pemerintah melalui Menteri Kehutanan untuk mengelola hutan seluas 48.000 hektar di Kabupaten Mentawai, termasuk wilayah Desa Malancan dan Saerejen. Lahan yang diklaim ada di lima desa yang mencakup dua kecamatan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, yaitu Desa Simalegi dan Sigapokna di Kecamatan Siberut Barat; Desa Malancan, Mongan Poula, dan Sotboyak di Siberut Utara.

Sejak saat itu, kehidupan Masyarakat Adat Uma Saerejen terganggu oleh ancaman penebangan hutan yang akan merusak ekosistem dan mengganggu sumber penghidupannya. Bagi Masyarakat Adat Uma Saerejen, hutan bukan hanya sekumpulan pohon, melainkan ruang hidup yang melindungi sumber air, sumber pangan, habitat satwa, dan kesuburan tanah. Meskipun menurut Bapak Barnabas bahwa sampai saat ini perusahaan belum melakukan penebangan kayu di hutan adat Uma Saerejen, namun klaim wilayah perusahaan kayu tersebut mencakup wilayah Desa Malancan. Kini perusahaan sudah menebang kayu di wilayah Desa Sigapokna, yang merupakan desa tetangga terdekat dari Desa Malancan.

“Sekarang daerah kita sudah di plot oleh HPH tetapi kami dari Uma Saerejen tidak setuju dikelola oleh perusahaan. HPH sudah berjalan tapi belum sampai daerah kita, baru sampai Sigapokna yang berjarak 40 km dari Sirilanggai.” Terang Bapak Barnabas.

Bapak Barnabas bersama Masyarakat Adat Uma Saerejen tidak tinggal diam. Pada 2016, Masyarakat Adat Uma Saerejen bersama dua suku lain, Sapunduru dan Samunggilai, melakukan aksi untuk menolak perusahaan kayu tersebut. Hal yang dilakukan saat itu adalah dengan memotong jembatan untuk mencegah perusahaan masuk ke wilayah adat Uma Saerejen.

Aksi ini bukan tanpa risiko. Bapak Barnabas sempat menjadi target pidana atas aksi protesnya, tetapi dukungan dari masyarakat dan pengertian dari Pemerintah Daerah membuatnya lolos dari ancaman tersebut. Ia menyadari bahwa kehadiran perusahaan ini tidak membawa manfaat bagi masyarakat dan sama sekali tidak sesuai dengan prinsip dan tradisi Masyarakat Adat Uma Saerejen yang dipelihara hingga saat ini, melainkan hanya ancaman terhadap tanah dan tradisi Masyarakat Adat Uma Saerejen.

Bapak Barnabas mengungkapkan, “Kalau perusahaan itu masuk, maka erosi dan banjir akan semakin sering terjadi, karena pohon-pohon yang menjaga tanah kami ditebang. Belum lagi, kami tidak akan mendapatkan manfaat dari hasil kayu itu, sebab log akan dikirim keluar tanpa ada kontribusi apapun bagi kami di Desa Malancan.” Tekad Masyarakat Adat Uma Saerejen bulat: Hutan Adat harus tetap dijaga demi kelangsungan hidup Masyarakat Adat Uma Saerejen dan masa depan generasi.

Perjuangan dan Inisiatif Masyarakat Adat Uma Saerejen untuk Pengakuan Wilayah Adat

Masyarakat Adat Uma Saerejen sudah lama berjuang untuk memperoleh pengakuan atas wilayah adatnya. Proses ini menjadi lebih konkret setelah disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 2017 di Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat Mentawai sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Meskipun demikian, pengakuan ini harus diperkuat dengan Surat Keputusan (SK) Bupati untuk mengesahkan batas-batas wilayah Adat Uma Saerejen agar statusnya sah secara hukum. Hingga pada tahap selanjutnya adalah untuk mendapat pengakuan atas hutan adat Saerejen.

Bapak Askurnis dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) yang selama ini bersama-sama Masyarakat Adat Uma Saerejen memperjuangkan wilayah adat Saerejen menjelaskan, “Untuk memenuhi syarat pengakuan Hutan Adat, YCMM telah memfasilitasi kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah Uma Saerejen. Pemetaan ini melibatkan proses panjang untuk memahami sejarah kepemilikan lahan, menentukan batas-batas wilayah adat, dan berkoordinasi dengan uma-uma (suku-suku) tetangga yang berbatasan langsung dengan Uma Saerejen.” Proses pemetaan ini menjadi pondasi penting dalam memastikan Masyarakat Adat dapat mengklaim hak atas tanah yang dijaga secara turun-temurun.

Bapak Barnabas bersama Masyarakat Adat Uma Saerejen sadar bahwa tanpa pengakuan resmi, hutan adatnya rentan untuk dirampas. Bersama-sama YCMM, masyarakat memulai proses pemetaan partisipatif untuk mendokumentasikan batas-batas wilayah adatnya. Pemetaan ini dilakukan dengan menggali sejarah kepemilikan lahan, menetapkan titik koordinat penting, dan mengundang uma-uma tetangga yang berbatasan langsung untuk memastikan kejelasan batas-batas tanah masing-masing. Pemetaan partisipatif ini melibatkan masyarakat, termasuk perempuan adat dan pemuda yang turut aktif dalam proses perencanaan hingga menyusuri sudut-sudut di wilayah adat untuk menandai titik koordinat yang kemudian dituangkan dalam bentuk peta.

Kegiatan pemetaan dimulai dengan diskusi awal untuk menentukan langkah-langkah yang diperlukan. Dari sana, berbagai tim dibentuk untuk menjalankan pemetaan di lapangan. “Kami merunutkan sejarah kepemilikan tanah, menggali nama-nama batas wilayah, dan menentukan titik-titik penting di dalamnya,” ujar Bapak Askurnis. Dengan bantuan dari Nusantara Fund, pemetaan ini mencakup perjalanan jauh ke daerah-daerah hutan yang sulit dijangkau, serta memerlukan koordinasi yang ketat karena tim pemetaan berasal dari Padang, yang perlu menyesuaikan jadwal dengan masyarakat lokal.

Dari hasil pemetaan ini, tercatat luas hutan adat Uma Saerejen mencapai 2.400 hektar. Peta ini juga telah dilakukan verifikasi bersama dengan Masyarakat Adat Uma Saerejen, uma-uma tetangga, serta Pemerintah Desa. Luasan puluhan kali lebih besar dari yang dibayangkan di awal oleh Masyarakat Adat Uma Saerejen. 

“Awalnya diperkirakan sekitar 100 Hektar, setelah didapatkan cerita penemuan tanah ini dan kemudian cerita batas-batasnya digambarkan sketsanya, saya sebagai pendamping yakin tidak akan kecil pasti luas ini wilayahnya.” Jelas Bapak Askurnis dari YCMM.

Hasil luasan tersebut didapatkan dengan menelusuri sejarah melalui tetua adat, untuk kemudian dilakukan pengambilan titik-titik koordinat dengan membagi ke dalam 4 tim yang juga melibatkan pemuda dan perempuan untuk turut serta dalam menyusuri batas-batas wilayah adatnya. “Kami kemudian melakukan verifikasi internal untuk memastikan bahwa semua batas wilayah sudah benar dan akurat, disaksikan oleh uma-uma tetangga serta pemerintah desa setempat,” ungkap Bapak Askurnis.

Setelah peta selesai dibuat, dokumen lengkap termasuk profil Masyarakat Adat Uma Saerejen siap untuk diajukan ke pemerintah daerah melalui panitia pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Kabupaten Mentawai. Dengan harapan, dokumen ini akan mendorong terbitnya SK Bupati yang akan mengakui wilayah adat Uma Saerejen sebagai wilayah sah yang dikelola oleh Masyarakat Adat Uma Saerejen.

Ini adalah lahan yang Masyarakat Adat Uma Saerejen pertahankan dan harapkan diakui sebagai hutan adat yang dikelola masyarakat Saerejen sendiri. Namun, perjuangan itu bukan tanpa tantangan. Hingga kini, pemerintah Kabupaten Mentawai belum memperpanjang SK panitia hukum adat yang penting untuk proses pengakuan hutan adat. Tanpa kepastian hukum, Bapak Barnabas dan Masyarakat Adat Uma Saerejen harus terus berjuang di tengah ketidakpastian dan ancaman terhadap wilayah adatnya.

Tantangan dari Perusahaan dan Pemerintah Daerah

Meski proses pengajuan pengakuan sudah berjalan, Uma Saerejen menghadapi tantangan besar dari luar. Salah satu ancaman utama adalah kehadiran perusahaan kayu yang memiliki izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) hingga tahun 2035. Sebagian besar wilayah adat Uma Saerejen berada di kawasan hutan produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPK), serta area penggunaan lain (APL).

Di wilayah HP dan HPK inilah perusahaan memiliki izin penebangan. Namun, masyarakat adat tidak menyetujui rencana kerja tahunan perusahaan untuk menebang kayu di wilayahnya. “Di Mentawai, meski perusahaan sudah memiliki izin, mereka tetap membutuhkan persetujuan dari pemilik tanah. Tanpa itu, mereka tidak bisa bergerak karena kami bisa menolak keras jika wilayah kami dirusak,” jelas Bapak Askurnis.

Situasi ini memicu kekhawatiran akan terjadinya konflik horizontal di masyarakat yang mungkin dimanfaatkan perusahaan untuk memperlemah penolakan masyarakat. Menurut Bapak Askurnis, perusahaan seringkali memanfaatkan perpecahan dalam komunitas lokal agar bisa melancarkan kegiatan eksploitasi. Kondisi ini menambah kerumitan dalam upaya memperoleh pengakuan atas tanah adat, yang masyarakat harapkan dapat melindunginya dari kegiatan perusahaan yang merusak wilayah adat.

Di sisi lain, implementasi Perda No. 11 Tahun 2017 juga mengalami kendala administratif. Saat ini, pemerintah daerah Kabupaten Mentawai dipimpin oleh seorang Pejabat (Pj) Bupati, dan SK panitia hukum adat yang diperlukan untuk melanjutkan pengakuan hutan adat belum diperpanjang. “Kami sudah berkomunikasi dengan Pj Bupati dan dinas-dinas terkait, tapi hingga saat ini SK panitia hukum adat yang baru belum keluar. Ini membuat kami bingung karena tanpa SK itu, proses pengajuan pengakuan wilayah adat tidak bisa berjalan,” ujar Bapak Askurnis.

Selain itu, lokasi pemerintahan kabupaten yang terletak di Pulau Sipora menambah tantangan. Dari Desa Malancan, dibutuhkan perjalanan menggunakan kapal cepat selama tiga hingga empat jam ke Pulau Sipora, dan perjalanan ini sering terhambat cuaca buruk antara September hingga Desember. Hal ini memperlambat proses administrasi yang sudah kompleks.

S1W057 DOK_Pemetaan Wilayah Adat18
Harapan untuk Masa Depan Uma Saerejen dan Generasi Mendatang

Dalam menghadapi tantangan yang ada, Masyarakat Adat Uma Saerejen tetap memiliki harapan besar untuk masa depan wilayah adatnya. Bagi Masyarakat Adat Uma Saerejen, pengakuan atas wilayah adat adalah soal martabat dan kelangsungan hidup Masyarakat Adat. Masyarakat Adat Uma Saerejen berharap agar pemerintah kabupaten tidak lagi memberikan izin-izin di atas wilayah adat dan hutan adatnya, yang menjadi sumber penghidupan serta warisan tradisi yang harus dijaga.

Bagi Bapak Barnabas dan Masyarakat Adat Uma Saerejen, pengakuan hutan adat tidak hanya soal hak atas tanah, tetapi juga soal keberlangsungan hidup sebagai Masyarakat Adat. Pengakuan ini diharapkan akan melindungi masyarakat dari ancaman perusahaan yang berusaha menguasai lahan tanpa persetujuan masyarakat. Selain itu, Masyarakat Adat Uma Saerejen berharap adanya dukungan dalam mengelola wilayah adat dengan cara yang berkelanjutan, agar hutan tetap terjaga dan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat.

“Saya berharap pemerintah benar-benar mendengar suara kami dan tidak lagi memberikan izin-izin yang mengancam tanah adat kami. Bagi kami, hutan ini adalah nyawa. Kami akan menjaga tanah ini agar tetap ada bagi anak cucu kami,” ucap Bapak Barnabas dengan tegas.

Di tengah semua rintangan, Uma Saerejen tetap bertahan dan terus memperjuangkan hak-haknya. Dengan segala keterbatasan, Masyarakat Adat Uma Saerejen mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah, didampingi YCMM, agar pengakuan wilayah adat Uma Saerejen segera terwujud. Bagi Masyarakat Adat Uma Saerejen, ini adalah satu-satunya cara agar wilayah adatnya tetap terjaga dan terhindar dari konflik yang mengancam masa depan Masyarakat Adat Uma Saerejen.

Bapak Askurnis menyampaikan harapan komunitas yang ia dampingi, “Kami berharap wilayah adat Uma Saerejen dapat diakui sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Dengan pengakuan ini, masyarakat bisa mengelola wilayah adat secara berkelanjutan, bukan hanya untuk menjaga hutan tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kami juga berharap dukungan terus ada, karena masyarakat masih butuh pendampingan untuk menyampaikan aspirasi mereka ke pemerintah.”

Pengakuan ini juga dianggap penting untuk generasi mendatang, agar Masyarakat Adat Uma Saerejen bisa terus menjaga dan mengelola tanah leluhur tanpa campur tangan pihak luar yang merusak. 

Meski jalan masih panjang, Masyarakat Adat Uma Saerejen tidak menyerah dalam memperjuangkan hak-haknya. Dengan pengakuan wilayah adat yang sah, masyarakat berharap dapat menghalangi ekspansi perusahaan dan menjaga hutan untuk generasi mendatang. Perjuangan Masyarakat Adat Uma Saerejen adalah contoh nyata dari keteguhan Masyarakat Adat untuk melindungi wilayah adat dan tradisi di tengah pengrusakan hutan oleh perusahaan swasta yang mengancam kelestarian alam dan keberadaan komunitas-komunitas Masyarakat Adat yang senantiasa menjaga wilayah dan potensi yang ada di dalamnya.

Scroll to Top