![S2A1012 [Komunitas Masyarakat Adat Margo IX Koto Dusun Teluk Jambu] S2A1012 [Komunitas Masyarakat Adat Margo IX Koto Dusun Teluk Jambu]](https://nusantarafund.org/wp-content/uploads/elementor/thumbs/S2A1012-Komunitas-Masyarakat-Adat-Margo-IX-Koto-Dusun-Teluk-Jambu-r100b2ukyhqsj695kpknuha9o1rb3r1ezyij8l71v4.jpg)
Komunitas Masyarakat Adat Margo IX Koto Dusun Teluk Jambu
Program
Rehabilitasi dan Restorasi Wilayah Hutan Adat Berbasis Ekonomi
Organisasi Pendamping
Lokasi
Pendanaan Langsung
Periode
Mulai
Berakhir
Target
Status
Bagikan ke :
Menjaga Hutan Bertuah Masyarakat Adat Margo IX Koto: Hutan Adat Teluk Jambu
Secara geografis Margo IX Koto Teluk Jambu terletak pada dataran rendah di pinggiran Sungai Batanghari, wilayahnya mencakup dua kecamatan yaitu Kecamatan Tebo Ulu dan Kecamatan Serai Serumpun, Kabupaten Tebo, Jambi. Wilayah Margo IX Koto Teluk Jambu didalamnya mencakup 9 desa, yaitu Desa Bungo Tanjung, Desa Pulau Jelmu, Desa Pulau Panjang, Kelurahan Pulau Temiang, Desa Bukit Pemuatan, Desa Sekutur Jaya, dan sebagian kecil Desa Napal Putih. Wilayah Adat di Tebo juga dikenal dengan sebutan margo, di Kecamatan Tebo terdapat lima margo, termasuk di dalamnya adalah Margo IX Koto.
Komunitas Masyarakat Adat Margo IX Koto memiliki hutan adat yang dikeramatkan, yakni Hutan Adat Teluk Jambu. Sekitar 100 tahun lalu, wilayah hutan adat ini merupakan pemukiman awal komunitas adat sebelum akhirnya ditinggalkan. Sekarang luas hutan adat tersisa tinggal sekitar 10 hektare. Teluk Jambu masih asri dengan kayu tua dan pohon buah-buahan berusia ratusan tahun serta menyimpan banyak sejarah, termasuk makam-makam leluhur yang masih terawat hingga kini.
Di Hutan Adat Teluk Jambu, masyarakat masih memanfaatkan berbagai tanaman dan pohon buah untuk kebutuhan sehari-hari maupun ekonomi, seperti duku, manggis, rambai, cupak hutan, dan rotan. Selain itu, hutan adat ini juga menyediakan tanaman obat yang digunakan dalam pengobatan tradisional. Semua potensi terkandung di dalamnya merupakan hak ulayat dan dikelola secara kolektif oleh Masyarakat Adat.
Bagi komunitas Masyarakat Adat Margo IX Koto, Hutan Adat Teluk Jambu adalah kosmos spiritual. Keberadaan makam leluhur yang masih terawat dan keyakinan masyarakat terhadap “orang bunian” sebagai penjaga hutan menjadikannya kawasan sakral dan dianggap bertuah. Bukan hanya berperan sebagai sumber penghidupan, Hutan Adat Teluk Jambu juga menjadi salah satu pusat spiritual bagi margo-margo di Kabupaten Tebo.
Peziarah datang silih berganti, baik untuk berziarah, merawat makam, maupun melakukan ritual adat. Kehadiran para peziarah membuka peluang ekonomi, Masyarakat Adat Margo IX Koto kemudian mengembangkan produk khas wisata ziarah Hutan Adat Teluk Jambu, seperti makanan olahan serta kerajinan tangan berbasis hasil hutan.
Sebagai bagian dari upaya menjaga hutan adat dan mempertahankan identitas budaya, Masyarakat Adat Margo IX Koto, dengan dukungan Pendanaan Langsung Nusantara Fund, membangun “Rumah Singgah” sebagai pusat pembelajaran dan pertemuan adat. Rumah Singgah menjadi ruang untuk berbagai kegiatan, seperti musyawarah adat, sekolah adat bagi generasi muda, serta produksi makanan dan kerajinan tangan berbasis hasil hutan. Wisatawan yang berkunjung juga dapat belajar langsung mengenai budaya dan tradisi Margo IX Koto.
Tak hanya itu, komunitas Masyarakat Adat Margo IX Koto juga aktif berupya untuk mempertebal tutupan hutan dengan menanam 160 bibit durian, 550 bibit alpukat, dan 250 bibit gaharu. Penanaman bertujuan meningkatkan keanekaragaman hayati di Hutan Adat Teluk Jambu sekaligus menciptakan sumber ekonomi baru berbasis hasil hutan non-kayu. Gaharu, misalnya, memiliki nilai ekonomi tinggi dalam industri parfum, kosmetik, dan pengobatan tradisional. Upaya ini juga didukung dengan pelatihan teknik bercocok tanam ramah lingkungan serta musyawarah dan lokakarya mengenai pentingnya hutan adat bagi lingkungan, budaya, dan ekonomi.
Masyarakat Adat Margo IX Koto telah membuktikan bahwa pelestarian hutan adat dan peningkatan ekonomi dapat berjalan berdampingan. Dengan mempertahankan kearifan lokal dalam mengelola hutan dan meningkatkan nilai dari hasil hutan, mereka tidak hanya melindungi ekosistem hutan adat, tetapi juga memperkuat daya tahan komunitas Masyarakat Adat.