![S2A1019 [Komunitas Adat Tonsea Likupang] S2A1019 [Komunitas Adat Tonsea Likupang]](https://nusantarafund.org/wp-content/uploads/elementor/thumbs/S2A1019-Komunitas-Adat-Tonsea-Likupang-r32z40f1bs9ddae0btuc1rllcpls86br64jyqzn67k.jpg)
Komunitas Masyarakat Adat Tonsea Likupang
Program
Budidaya Ikan untuk Kemajuan Ekonomi Masyarakat Adat
Organisasi Pendamping
Lokasi
Pendanaan Langsung
Periode
Mulai
Berakhir
Target
Status
Bagikan ke :
Budidaya Ikan untuk Kemajuan Ekonomi Masyarakat Adat Tonsea Likupang
Masyarakat Adat Tonsea Likupang berada di Desa Wangurer, Kecamatan Likupang Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Wilayah Adat Tonsea Likupang mencakup 5 Jaga atau dusun dengan jumlah anggota Masyarakat Adat terdiri dari 872 jiwa. Tonsea merupakan suku tua di Minahasa yang bermukim di semenanjung Sulawesi, Kota Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, kota Bitung, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur. Suku Tonsea berasal dari Pakasa’an Tountewoh, yang merupakan anak suku Minahasa.
Masyarakat Adat Tonsea Likupang memiliki tradisi mengelola sumber penghidupan yang ada di wilayah adatnya dengan bertani. Mereka menanam ragam jenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti padi, jagung, ubi, sayuran, kacang-kacangan. Selain itu masyarakat juga menanam tanaman jangka panjang yaitu pala, kelapa, dan cengkeh sebagai sumber penghasilan. Selain hasil pertanian dan perkebunan, Masyarakat Adat Tonsea Likupang juga beternak ikan, sapi, ayam, dan babi.
Dalam mengelola wilayah adatnya, Masyarakat Adat Tonsea Likupang senantiasa menjaga pengetahuan turun temurun dan kearifan lokal. Mereka menciptakan kehidupan yang berkelanjutan dan memanfaatkan sumber daya alam dengan penuh tanggung jawab. Tradisi ini yang dipertahankan hingga saat ini demi kesejahteraan mereka dan generasi mendatang. Pengelolaan wilayah adat yang dilakukan secara berkelanjutan ini tidak hanya melindungi sumberdaya alam, juga melestarikan budaya dan tradisi.
Sayangnya, wilayah adat Tonsea Likupang masuk dalam wilayah lingkar tambang perusahaan besar di Sulawesi Utara. Saat ini pembebasan lahan secara besar-besaran telah dilakukan, wilayah adat yang berupa hutan bagian timur, tepatnya berbatasan dengan Desa Pinenek sebagai desa Lingkar tambang Ring 1 telah dieksplorasi oleh perusahaan. Banyak anggota masyarakat yang terpaksa menjual tanah milik mereka ke perusahaan karena tergiur dengan rayuan perusahaan.
Sebagian besar wilayah adat yang sebelumnya adalah wilayah perkebunan dan pertanian kini sudah menjadi lahan pertambangan. Alih fungsi ini jadi persoalan untuk lingkungan di wilayah adat Tonsea Likupang, karena menyebabkan pencemaran air dan udara. Pertanian juga terganggu, yang diperparah dengan ketidakpastian cuaca, menyebabkan gagal panen dan turunnya hasil penjualan. Selain dampak lingkungan, proses pembebasan lahan dalam eksplorasi tambang kerap kali mengakibatkan penggusuran Masyarakat Adat dari wilayahnya sendiri. Hal ini dapat menimbulkan ketidakstabilan sosial dan ekonomi bagi warga yang terkena dampaknya.
Oleh karena itu dalam upaya pemulihan, masyarakat Masyarakat Adat Tonsea Likupang berinisiatif melakukan peningkatan kapasitas pada generasi muda di komunitas dan menigkatkan kesejahteraan melalui peningkatan ekonomi kolektif Masyarakat Adat. Upaya ini didukung oleh Pendanaan Langsung Nusantara Fund. Fokus utama pada budidaya ikan air tawar jenis mujair dan ikan mas, karena dinilai punya peluang sangat besar untuk komunitas dengan adanya banyak rumah makan di daerah tersebut. Tidak hanya itu, permintaan ikan mujair dan ikan mas di pasar-pasar tradisional bahkan di supermarket juga sangat menjanjikan.
Upaya bermula dari pertemuan 12 pemuda adat di Wanua Wangurer, Komunitas Adat Tonsea Likupang. Mereka sepakat membentuk kelompok untuk memperkuat kemandirian ekonomi, sebagai respons terhadap dominasi aktivitas tambang emas yang mengancam wilayah adat mereka. Kelompok ini kemudian berkonsultasi dengan Pengurus Wilayah (PW) AMAN Sulut, bermusyawarah untuk menentukan aktivitas, tim kerja, sistem bagi hasil, hingga pemanfaatan lahan. Hasil musyawarah ini menjadi dasar fokus untuk merealisasikan inisiatif mereka melalui penguatan ekonomi dan rehabilitasi wilayah adat.
Kelompok memulai pengelolaan tambak ikan dengan proses yang terdiri dari pembersihan tambak, pembukaan saluran air, pembelian dan pelepasan bibit ikan, yang diawali dengan doa dan ritual adat. PW AMAN Sulut juga memfasilitasi pelatihan pengelolaan tambak serta asistensi. Pengelolaan tambak dilakukan secara bergilir oleh tim kecil beranggotakan 3–4 orang.
Hingga kini, mereka telah berhasil panen ikan tiga kali. Setelah mengikuti pelatihan yang difasilitasi oleh PW AMAN Sulut, mereka tidak hanya mampu menjalankan tambak secara mandiri, tetapi juga mulai membuka akses pasar sendiri. Bahkan, beberapa restoran lokal telah berkomitmen untuk menerima hasil panen ikan tersebut.
“Kami juga membagi sejumlah hasil ikan ke komunitas yang serius untuk melakukan inisiatif kemandirian ekonomi. Meski tak banyak, tapi setidaknya bisa mendorong kebiasaan positif di Masyarakat Adat Tonsea Likupang, terlebih generasi muda.”
Sedangkan untuk kegiatan rehabilitasi, kelompok pemuda adat menggandeng kelompok pecinta alam untuk menanam ratusan pohon di kawasan Perkebunan Marawuwung, wilayah yang terancam ekspansi tambang. Kegiatan ini dilanjutkan dengan diskusi tentang perlindungan lingkungan dan wilayah adat dari ancaman pertambangan.
“Kami sangat mengapresiasi dukungan dari Nusantara Fund dalam upaya penguatan ekonomi melalui budidaya ikan serta rehabilitasi wilayah adat. Program ini akan membantu masyarakat meningkatkan taraf hidup dan sekaligus menjaga kearifan lokal yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.”
Inisiatif ekonomi kolektif dan rehabilitasi lingkungan yang digerakkan kelompok pemuda/i ini mampu menumbuhkan kesadaran kolektif di tingkat komunitas, tentang pentingnya menjaga wilayah adat dari ancaman pertambangan. Upaya ini mulai menampakkan hasil, banyak pemuda/i yang sebelumnya sering tergoda bekerja di tambang kini mulai menolak tawaran itu, karena sadar bahwa wilayah adat mereka jauh lebih berharga nilainya sebagai sumber penghidupan. Perjuangan ini turut memunculkan dukungan dan solidaritas dari berbagai pihak.
“Lewat program ini, Masyarakat Adat di Wanua Wangurer dan sekitarnya kini mulai aktif mendiskusikan tentang isu Masyarakat Adat. Kemudian yang paling terasa, munculnya kesadaran untuk tidak lagi menjual lahan ke tambang. Bahkan saat ini, Masyarakat Adat sudah mulai melawan. Para pemuda adat pun mulai mendapat kepercayaan dalam banyak hal. Mereka kini punya ruang untuk bicara dan didengar. Beberapa pemuda adat juga tidak lagi malu untuk beternak atau bertani.”