![S2017A1 [Komunitas Masyarakat Adat Paperu] S2017A1 [Komunitas Masyarakat Adat Paperu]](https://nusantarafund.org/wp-content/uploads/elementor/thumbs/S2017A1-Komunitas-Masyarakat-Adat-Paperu-r2smly6aniw96x93o97giqyxe63fi3b44hawr6vk8g.jpg)
Komunitas Masyarakat Adat Paperu | Komunitas Masyarakat Adat Wotay
Program
Pemetaaan Wilayah Adat dan Rehabilitasi Wilayah Adat
Organisasi Pendamping
Lokasi
Pendanaan Langsung
Periode
Mulai
Berakhir
Target
Status
Bagikan ke :
Mengembalikan Wilayah Adat Negeri Paperu dan Negeri Wotay di Bumi Pala
Komunitas Adat Wotay dan Paperu berada di Kabupaten Maluku Tengah. Paperu berada di Pulau Seram, Kecamatan Teon Nila Serua, sementara Wotay terletak di Pulau Saparua, Kecamatan Saparua. Meski terpisah jarak, gerakan masyarakat adat di Maluku, khususnya di Maluku Tengah, tetap terorganisir melalui PW AMAN Maluku yang menaungi banyak komunitas adat di wilayah Maluku.
Di Maluku, istilah “negeri” digunakan sebagai pengganti desa atau kelurahan. Negeri Paperu, juga dikenal sebagai Tounusa Amalatu, memiliki sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang Raja. Sementara itu, Negeri Wotay saat ini dipimpin oleh Patu Leta atau Patu Leu (sebutan Pimpinan di Kampung secara adat). Bagi masyarakat adat, tanah adalah pusar mereka dimana sumber kehidupan, warisan leluhur, dan tradisi berpusat disini. Namun naasnya, terus menerus harus berhadapan dengan klaim wilayah adat silih berganti dari pihak lain. Negeri Wotay pun tak luput, wilayah adatnya ditetapkan sebagai Hutan Lindung.
Tanpa sepengetahuan mereka, sejak 2014 wilayah adat mereka telah ditetapkan sebagai hutan lindung oleh pemerintah. Informasi ini baru mereka ketahui pada pertengahan 2024, mereka terkejut karena merasa tak pernah dilibatkan dalam proses penetapan. Status hutan lindung ini membatasi hak masyarakat adat Wotay untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam di hutan adat yang telah mereka jaga secara turun-temurun.
Situasi ini mendorong komunitas Wotay untuk mengambil langkah cepat untuk melindungi wilayah adat mereka dengan melakukan pemetaan wilayah adat. Pemetaan jadi dasar dalam memperjuangkan pengakuan dan perlindungan resmi dari pemerintah, serta menjadi langkah awal untuk mencabut status hutan lindung di wilayah adat mereka.
Pemetaan Partisipatif di Wilayah Adat Negeri Paperu
Dengan dukungan Pendanaan Langsung Nusantara Fund, Masyarakat Adat Paperu bersama PW AMAN Maluku menggelar pemetaan partisipatif wilayah adat. Pemetaan wilayah adat Negeri Paperu dilakukan dengan metode partisipatif. Metode ini menekankan pada keterlibatan aktif masyarakat adat setempat dalam menuangkan pengetahuan tentang ruang hidup ke sebuah bidang datar.
Sebelum pemetaan, masyarakat adat Paperu mengadakan musyawarah dengan komunitas sekitar untuk menyepakati batas wilayah. Kesepakatan tapal batas menjadi dasar pengajuan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat (SK PPMA) ke Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah.
Luas Wilayah Adat berhasil terpetakan di daerah yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung tersebut adalah 1.289,11 hektar. Selain itu, dokumen persyaratan SK PPMA telah diserahkan ke Kepala Bagian Hukum Pemda Kabupaten Maluku Tengah sebagai langkah awal menuju pengakuan resmi. Sebanyak 791 jiwa masyarakat adat Wotay turut merasakan manfaat dari proses ini.
Rehabilitasi Lahan Kritis di Wilayah Adat Negeri Wotay
Sedang di Negeri Wotay, persoalan lahan kritis jadi soal. Bermula dari penyerobotan wilayah adat Negeri Wotay oleh pihak luar untuk dijadikan resort. Penyerobotan mengakibatkan peremajaan hutan yan biasanya secara berkala dilakukan Masyarakat Adat tertunda dalam waktu lama.
Pasca Covid resort tersebut tidak beroperasi lagi dan sudah terbengkalai. Sekarang waktu tepat untuk menggiatkan kembali upaya-upaya perlindungan hutan adat yang kerap mereka lakukan. Dengan dukungan Pendanaan Langsung Nusantara Fund, pas musim hujan masyarakat Adat Paperu merehabilitasi lahan kritis dengan menanam pala dan rambutan. Pohon-pohon yang masih berdiri jadi naungan bagi bibit baru ditanam. Awalnya masyarakat mengalami hambatan karena cuaca tak menentu. Namun mereka mencoba menanam bibit pala dan rambutan di awal musim penghujan sehingga tidak perlu disiram karena sudah mendapat cukup banyak air.
Meski sempat terkendala cuaca, mereka berhasil menanam 500 bibit pala dan 100 bibit rambutan secara gotong royong di lahan seluas 10 hektar. Setidaknya 1.473 jiwa masyarakat adat Paperu akan mendapatkan manfaat dari hasil panen di masa depan.
Pala, hasil bumi khas Maluku, memiliki nilai ekonomi tinggi, diminati pasar domestik maupun internasional. Pohon pala baru berbuah setelah tujuh tahun, sedangkan rambutan bisa dipanen dalam dua hingga tiga tahun. Selain mendukung ekonomi masyarakat, kedua jenis pohon ini juga berperan penting dalam menjaga ekosistem hutan adat. Umurnya yang panjang dan perakaran yang kuat membantu menjaga kualitas air dan tanah serta mencegah erosi.