Re-Granting - General Support





Menuju Kampung Bunisari dan Kampung Cipageureun bukan sekadar perjalanan fisik, itu adalah perjalanan waktu. Dari Jalan Raya Cisompet, kendaraan harus merayap selama 40 menit melalui jalur cor sempit dan berlubang yang hanya cukup untuk satu mobil. Jika ada kendaraan dari arah berlawanan, salah satunya harus mengalah mundur, mencari celah di antara hutan dan kebun masyarakat.
Pada ketinggian sekitar 534 mdpl, kedua kampung yang menjadi bagian Desa Cikondang ini seperti berdiri dalam pelukan hutan. Pepohonan tinggi membentuk lorong hijau yang memisahkan kampung dari hiruk pikuk kota. Udara yang sejuk menandai betapa asrinya wilayah ini, rumah bagi ragam flora seperti cengkeh pucuk merah, kapulaga, karet, hingga fauna yang kian jarang ditemui: owa jawa, surili, monyet, bahkan macan tutul.
Di sini, batas antara hutan dan kehidupan manusia hanya dipisahkan oleh ladang-ladang kecil milik masyarakat. Flora dan fauna tersebut hidup di hutan yang masih asri milik masyarakat Cikondang. Habitat mereka berbatasan langsung dengan wilayah kebun, ladang, dan pemukiman warga. Kampung dan hutan hidup berdampingan, saling menjaga.
Mayoritas Masyarakat di Bunisari dan Cipageureun hidup sebagai petani. Mulai dari sawah basah hingga kebun yang memiliki ragam jenis tanaman pertanian sebagai sumber hidupnya.
Kapulaga dan aren menjadi sumber penghasilan utama mereka, disusul petai, pisang, cengkeh yang menghidupi banyak keluarga. Hasil panen dikumpulkan oleh pengepul yang datang dengan mobil kol bak, mengangkutnya menuju pasar kabupaten.
Masyarakat merawat pertanian ini secara ramah lingkungan. Tanpa menggunakan pupuk kimia. Mereka menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia memberikan dampak buruk terhadap kualitas lahan. Mereka memanfaatkan kotoran ternak untuk diolah menjadi pupuk organik, serta memanfaatkan dedaunan jatuh sebagai pemberi nutrisi alami bagi tanah dan tanaman. Kesadaran ekologis itu tidak lahir begitu saja; ia tumbuh dari masa kelam yang pernah membayangi kampung.
Sekitar 15 tahun yang lalu, masyarakat di dua kampung ini belum memiliki hubungan yang sehat dengan alam. Perburuan hewan liar di hutan, menebang pohon, meracun ikan di sungai. Mereka melakukannya demi kepentingan ekonomi. Wilayah yang asri dan dikelilingi hutan lebat membuatnya menyimpan banyak jenis tanaman dan hewan yang jarang ditemui di tempat lain. Hal ini lah yang membuat banyak orang memburu kekayaan alam yang ada di Kampung Bunisari dan Kampung Cipageureun.
Hamam Saefuloh adalah salah satunya. Ketua organisasi Cimerak Lestari ini mengakui masa lalunya tanpa ragu:
Sekarang saya sudah menyadari kerusakan wilayah saya. Saya harus memikirkan tentang masa depan anak-cucu saya di kampung ini. Melalui penanaman, saya menggerakan masyarakat untuk memulihkan wilayah. Hamam Saefuloh, Ketua Cimerak Lestari.
Dia dulunya adalah seorang pemburu hewan, pengebom ikan di sungai, perusak hutan dan sumber air di kampungnya. Namun, kini dia adalah salah satu orang penggerak di Cipageureun yang peduli akan lingkungan. Dia menginisiasi pembentukan organisasi yang peduli terhadap lingkungan. Antusias mengajak masyarakat untuk melakukan penanaman. Menegakkan larangan untuk merusak alam.
Situasi mulai berubah ketika dampaknya mereka rasakan sendiri, kekeringan ketika musim kemarau, tanah longsor yang menimpa rumah-rumah di kampung. Masyarakat akhirnya menyadari bahwa kerusakan ekosistem berbanding lurus dengan ancaman terhadap hidup mereka sendiri.
Dengan pendampingan Remaja Kelana Pecinta Alam (REKAPALA) dan WALHI Jawa Barat, perubahan pun dimulai. Perlahan, masyarakat memulihkan lingkungan dan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian wilayahnya.
REKAPALA selama 2 tahun belakangan melakukan pendampingan kelompok Jasa Muda, kelompok konservasi lingkungan sekaligus pemerhati Owa Jawa. Kelompok Jasa Muda ini adalah salah satu yang berperan sentral dalam memantau, mendatangi dan mengusir pelakunya pembalakan di Hutan Cikondang.
Tahun ini, Desa Cikondang mengesahkan Peraturan Desa untuk melindungi wilayahnya. Aturan tersebut melarang penebangan di sekitar sumber air, melarang perburuan satwa endemik, hingga melarang metode penangkapan ikan yang merusak sungai. Satwa endemik yang dilindungi seperti owa jawa, harimau, trenggiling, julang, rangkong dan landak. Sebuah langkah penting yang jarang ditemui di tingkat pemerintahan desa.
Di antara satwa-satwa endemik itu, owa jawa ( Hylobates moloch ) adalah yang paling menonjol. Populasinya terus menurun di banyak tempat, namun di Bunisari dan Cipageureun, mereka masih dapat ditemui.
Owa Jawa terus mengalami penurunan jumlah populasi akibat maraknya perburuan dan perubahan fungsi lahan di habitatnya. Sehingga Owa Jawa masuk dalam kategori terancam punah menurut daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). IUCN pernah memasukkan status keterancaman spesies ini sebagai Critically Endangered (CR) atau kiritis pada tahun 1996 dan 2000. (Sumber: https://www.iucnredlist.org/species/10550/17966495)
Habitat Owa Jawa berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Salah satunya ada di Kampung Bunisari dan Kampung Cipageureun. Di wilayah ini Owa Jawa hidup di wilayah yang secara administratif dimiliki oleh Desa Cikondang, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut. Mereka hidup dengan memakan pucuk tanaman yang ada di hutan. Habitat mereka bersebelahan dengan ladang dan kebun masyarakat.

Wilayah Kampung Bunisari dan Cipageureun memiliki luas 300 Ha. Di dalamnya terdapat 3 blok kawasan habitat Owa Jawa seluas 60 Hektar. Blok Panyindangan, Jolok, dan Cipalasari memiliki luas masing masing 20 Hektar. Hingga saat ini jumlah Owa Jawa di Kampung Bunisari dan Kampung Cipageureun berdasarkan hasil penelitian Universitas Winaya Mukti (UNWIM) di tiga blok adalah sebanyak 14 individu yang terdiri dari 5 kelompok.

Berdasarkan kepercayaan nenek moyang, Owa Jawa di kampung ini memiliki kemampuan untuk mendeteksi awal adanya ancaman maupun bencana. Owa Jawa mengingatkan manusia dengan suaranya ketika ada ancaman. Oleh karena itu penting bagi masyarakat di Kampung Bunisari dan Cipageureun untuk menjaga habitat Owa Jawa. Secara turun temurun kepercayaan mereka tidak boleh mengganggu kehidupan hewan lain yang hidup dalam satu wilayah yang sama dengan masyarakat.
Masyarakat di kampung ini juga memiliki keahlian dalam mendengar dan mengenali perbedaan suara yang dikeluarkan owa jawa. Owa mengeluarkan suara di pagi hari berarti sebagai penanda hujan akan datang di siang hari. Sehingga masyarakat dapat memprediksi aktivitas di kebun dan ladang mereka. Jika owa bersuara dengan nada tinggi dan keras menandakan akan ada ancaman, seperti turunnya macan tutul ke perkampungan warga.
Keberadaan Owa Jawa juga menandakan bahwa hutan yang mereka tinggali masih asri dan rimbun oleh pepohonan. Hal ini berarti jika owa jawa sudah tidak ditemukan di kampung ini, maka dapat dipastikan hutan sudah rusak. Hal ini secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Sumber hidup mereka ada di hutan, terutama air. Jika hutan sudah gundul, berarti sumber mata air juga rusak.
Sekitar 15 tahun ke belakang, perburuan satwa endemik berlalu. Kalau Owa tidak ada berarti habitat mereka rusak, pohon tidak ada dan itu menandakan wilayahnya terdapat kerusakan. Masyarakat di sini harus menjaga alam, karena kita semua memerlukan mata air, ada pohon berarti ada mata air. Jaga alam, jaga satwa! Apip Solahudin, masyarakat Kampung Bunisari.

Saat ini masyarakat dengan dampingan REKAPALA sedang mengupayakan peningkatan status kawasan habitat Owa Jawa menjadi kawasan ekosistem esensial kepada Kementerian Kehutanan. Pengaturan mengenai kawasan ekosistem esensial dapat ditemukan pada Perdirjen KSDAE P.1/2021. Kawasan ekosistem esensial adalah kawasan di luar kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru yang secara ekologis penting bagi keanekaragaman hayati.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Koservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor: P.1/KSDAE/BPE2/KSA/4/2/2021 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial. Perlindungan terhadap kawasan ekosistem esensial dilakukan melalui: (1) pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies invasif, hama, dan penyaki; (2) melakukan pengamanan kawasan secara efektif.
Prosedur pengajuan kawasan ekosistem esensial harus dilakukan oleh masyarakat yang menyadari pentingnya perlindungan ekosistem lokal. Hal ini yang mendasari inisiatif masyarakat untuk mengusulkan perlindungan habitat Owa Jawa. Saat ini masyarakat telah melakukan pemetaan potensi dan identifikasi lokasi. Selanjutnya akan diajukan ke Pemerintah Pusat, tepatnya Kementerian Kehutanan.
Sebelumnya wilayah masyarakat hanya ditumbuhi tanaman hutan berkayu yang tidak memiliki nilai lain selain nilai jual kayu. Namun, seiring dengan terbangunnnya kesadaran mereka untuk menjaga kelestarian wilayah dan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Mereka menanam beragam jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan selain hasil kayunya. Mereka menanam petai, cengkeh, kapulaga, alpukat, mangga dan banyak jenis lainnya. Selain untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, tanaman buah juga sekaligus bermanfaat sebagai makanan Owa Jawa.
Di tahun 2025 masyarakat di Kampung Bunisari dan Cipageureun menginisiasi pemulihan wilayah dengan melakukan penanaman 2.000 bibit lebih yang terdiri dari tanaman keras dan buah-buahan di lahan seluas ±20 Ha di Cipageureun. Tidak hanya itu, mereka juga menginisiasi pembangunan kebun bibit di Bunisari.
Di Bunisari masyarakat membuat kebun bibit yang menampung 2.000 bibit setiap tahun. Bibit tersebut akan ditanam di wilayah-wilayah yang terdegradasi dan memerlukan pemulihan. Bibit yang ada terdiri dari 70% tanaman budidaya dan 30% tanaman multi fungsi ekologis sebagai pemulih mata air dan sekaligus sebagai pakan Owa Jawa.

Jenis tanaman yang dibibitkan diperbanyak untuk tanaman budidaya. Karena masyarakat di Kampung Bunisari dan Cipageureun membutuhkan bibit tanaman yang dapat menjadi sumber penghasilan. Selain itu, juga menanam tanaman yang bernilai ekologis agar dapat berfungsi pemulihan dengan ditanam di lokasi-lokasi yang terdegradasi. Serta memastikan lokasi penanaman di area penting, seperti di dekat mata air dan pinggir sungai.
Tidak hanya itu, fungsi lain adalah pelestarian habitat hewan endemik, salah satunya adalah Owa Jawa. Dengan menanam tanaman budidaya di kawasan garapan masyarakat dapat meningkatkan pendapatan yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap kawasan habitat Owa Jawa. Di kawasan habitat Owa Jawa yang terfragmentasi, juga ditanami tanaman sebagai penyambung antara satu populasi satu dengan populasi lain perlu ditanami tanaman kayu. Sehingga pemulihan kawasan tersebut dapat meningkatkan terjadinya interbreeding dan pengkayaan genetik Owa Jawa.
Inisiatif masyarakat tidak berhenti di situ, setelah penanaman tersebut dilakukan. Masyarakat semakin termotivasi untuk melakukan pemulihan di kawasan yang rusak di wilayah mereka. Kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memulihkan wilayahnya semakin tinggi. Dengan adanya inisiatif mandiri tersebut, dapat meningkatkan kepemilikan terhadap wilayah dan sumber penghidupan yang terkandung di dalamnya.