TOTAL DANA 2025 - 2027

$500,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA AGUSTUS 2023 - JULI 2024

$250,000

Institutional Support

TOTAL DANA OKTOBER 2024 - SEPTEMBER 2029

$5,000,000

General Support

TOTAL DUKUNGAN DANA $800,000

Agustus 2023 - September 2024 ( $300,000 )
Februari 2025 - Juli 2026 ( $500,000 )

Pendanaan Langsung ( Re-Granting )

TOTAL DUKUNGAN DANA 2023 - 2027

$1,050,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA 2024 - 2026

$2,500,000

Re-Granting - Endowment

Pendidikan untuk Merdeka: Strategi Petani PPSS Sukabumi untuk Keadilan Agraria

“Sekarang saya sudah tidak takut lagi, kalau ada perusahaan datang menuduh kami ilegal dalam menggarap lahan, tinggal saya balikkan kalian [perusahaan] juga kan tidak memiliki izin legalitas. Kemudian mereka diam, dari situ saya tau bahwa saya tidak keliru”

Sejak tahun 1948, petani di Desa Langensari dan sembilan desa lainnya telah menggarap lahan pertanian, jauh sebelum Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan teh skala besar PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. PTPN VIII mengantongi dua izin HGU untuk Kebun Goalpara  dengan luas total HGU 2.800 Ha. Kedua HGU tersebut telah habis masa berlakunya pada 2005 dan 2013, namun perusahaan masih aktif hingga saat ini. Bahkan sampai mengintimidasi petani karena dianggap memasuki lahan perkebunan tanpa izin.

Petani di Langensari dan sembilan desa lain yang tinggal di area PTPN VIII sudah sejak lama berjuang dan memulai pendudukan fisik lahan dengan cara membuka lahan perkebunan dan menanaminya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketua Organisasi Tani Lokal (OTL) Langensari, Dadang, bercerita bahwa mulai dari tahun 2000an mereka sudah menanam di lahan yang pada saat itu masih dibebani izin HGU PTPN VIII tersebut. 

Dari lereng curam hingga jurang, petani bertahan menanam sayuran, jeruk, dan alpukat di tanah yang dianggap “tidak produktif” oleh perusahaan. Mereka terus dituduh sebagai perambah, orang sewaan, diancam, bahkan didatangi aparat bersenjata. Hingga akhirnya, pada tahun 2018 mereka membentuk Persaudaraan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS)—organisasi tani yang menjadi wadah perjuangan bersama.

“Saya mulai membuka menggarap lahan untuk pertanian di sekitar tahun 2000an, izin ke perusahaan dengan syarat membayar sewa yang dihitung per patok. Saya setiap tahun harus membayar sewa di lahan itu sampai tahun 2011. Lahan yang dapat ditanam pun berada di lahan yang sangat miring di tebing-tebing atau jurang”

Bapak Dadang dengan latar belakang alpukat dan jeruk yang telah ditanam di lahan garapannya. Foto : Indri Novia Kusworo/Dana Nusantara
Bapak Dadang dengan latar belakang alpukat dan jeruk yang telah ditanam di lahan garapannya. Foto : Indri Novia Kusworo/Dana Nusantara

Sewa lahan yang ditarik perusahaan perkebunan dari petani terus berlanjut hingga tahun 2011 atau 2 tahun sebelum izin HGU tersebut berakhir. Hal tersebut terjadi ke seluruh petani yang tinggal di sekitar perkebunan. Hingga pada akhirnya petani bersepakat membentuk organisasi tani sebagai wadah perjuangan untuk mendapatkan kembali hak atas tanahnya.

Ketika menggarap lahan petani kerap mengalami intimidasi dari perusahaan, bahkan aparat juga datang ke lahan pertanian yang telah digarap petani dan mengancam petani. Sebelum ada PPSS, petani sudah memiliki organisasi bersama sebagai wadah perjuangan. Namun belum ada pendidikan tentang reforma agraria dan belum ada pendampingan dari organisasi lain. Petani kerap kali merasa ketakutan akan intimidasi yang dialami terus-menerus.

Hingga pada akhirnya PPSS dibentuk pada tahun 2018 yang beranggotakan 235 kepala keluarga (KK) dari 9 desa yang ada di empat kecamatan, diantaranya adalah Desa Cisarua, Desa Margaluyu, Desa Sukamaju, Desa Titisan, Desa Sukalarang, Desa Sudajaya Girang, Desa Undrus Binangun, Desa Langensari, dan Desa Gekbrong. Jumlah anggota tersebut semakin lama semakin berkurang, awalnya PPSS beranggotakan 770 KK. Banyak tantangan dialami yang membuat anggota berkurang. Alasan utama adalah ketakutan akan ancaman penggusuran dan intimidasi yang dialami oleh petani yang membuka lahan pertanian bekas HGU perkebunan. Berkat adanya solidaritas yang kuat dalam PPSS yang mereka bangun sendiri, keberanian petani semakin tebal untuk melakukan pendudukan lahan sebagai salah satu upaya perjuangan atas haknya. 

Kini, petani telah berhasil menduduki lahan seluas 262,8 hektar dan masing-masing KK rata-rata menggarap 0,5 hektar lahan. Lahan yang digarap oleh petani ini berupa lahan bekas kebun teh yang tidak lagi produktif dikelola oleh perusahaan perkebunan. Menurut Dadang, hampir 50% lahan bekas HGU tersebut sudah ditelantarkan dan tidak dirawat oleh perusahaan sejak tahun 2011, sebelum masa berlaku izinnya habis di tahun 2013.

PPSS merupakan anggota dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang memperjuangkan reforma agraria sejati dan berfokus menghapus monopoli tanah serta ketidaksetaraan struktural secara mendasar (bukan hanya redistribusi lahan) di Indonesia sejak tahun 1994. Pada Februari 2025, PPSS juga menjadi tempat belajar bagi peserta Asia Land Forum (ALF) 2025 yang menginspirasi bagaimana proses mencapai keadilan agraria dan hak-hak petani diperjuangkan langsung oleh serikat petani. ALF 2025 melalui tuan rumah penyelenggara yaitu Sekjen KPA, Dewi Kartika menyerukan kepada pemerintah di Asia termasuk Indonesia, “Pemerintah harus mengimplementasikan reforma agraria, tanpa menyerahkannya melalui mekanisme pasar.”

Pendidikan Rakyat di Langensari  Tonggak Perlawanan Terhadap Ketimpangan Agraria

Bapak Dadang menegaskan, “Sekarang petani lebih berani dan percaya diri. Kami tahu bahwa sebagai masyarakat dan warga negara, kami punya hak yang harus dijamin.”

Tak hanya laki-laki, perempuan pun terlibat aktif dalam perjuangan ini. Ibu Andriana, Ketua Kelompok Wanita Tani Langensari, mengaku bangga bisa ikut berperan. Sebagian besar perempuan selain terlibat dalam sejumlah agenda organisasi, termasuk turut serta dalam pendidikan, juga menyisihkan tenaga dan waktu ekstra untuk menyiapkan konsumsi peserta, mereka sadar perjuangan ini untuk masa depan anak-anak mereka. Tidak hanya itu, perempuan petani juga aktif dalam menggarap lahan yang dikelola bersama suaminya.

Perempuan petani anggota PPSS sedang menggarap lahannya. Foto : Indri Novia Kusworo/Dana Nusantara
Perempuan petani anggota PPSS sedang menggarap lahannya. Foto : Indri Novia Kusworo/Dana Nusantara

Pendidikan Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS) diselenggarakan di Langensari, Sukabumi dalam rangka memperkuat kaderisasi di PPSS. diikuti oleh seluruh anggota dari masing-masing OTL yang tersebar di 9 desa anggota PPSS. ARAS  diikuti oleh seluruh anggota OTL dari 9 desa anggota PPSS dengan difasilitasi oleh KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria). Selama kurun waktu April – Desember 2024, PPSS telah menyelenggarakan 2 kali pendidikan. 

Hasilnya peserta pendidikan menjadi lebih berani dan terarah dalam menyuarakan dan memperjuangkan haknya, terutama untuk berhadapan dengan pihak pemerintah maupun perusahaan. Karena mereka telah memiliki bekal pengetahuan mengenai aturan dan hukum yang menguatkan posisi petani. Bahkan mereka juga menyampaikan bahwa tidak takut lagi jika ada pihak perusahaan yang datang untuk mengancam mereka.

Pertemuan rutin dilakukan di Saung Sawala tanpa terkendala cuaca. Tak seperti dulu, kegiatan pertemuan rutin harus dihentikan ketika hujan besar. Kini, selain untuk pertemuan rutin anggota, pendidikan, acara warga, saung sawala juga berfungsi ganda  sebagai sarana pendidikan paud sehingga murid dapat belajar dengan nyaman. Pembangunan saung sawala akan dilanjutkan dengan pembangunan lantai dua untuk penginapan sederhana bagi peserta dari desa lain. Dengan ini, fungsi saung sawala sebagai sarana memperkuat gerakan dapat lebih  maksimal.

Saung Sawala. Foto: Indri Novia Kusworo/Dana Nusantara
Saung Sawala. Foto: Indri Novia Kusworo/Dana Nusantara

Penguatan Ekonomi dan Lingkungan, Sekaligus Strategi Reclaiming Lahan

Selain pendidikan, PPSS juga memiliki strategi ekonomi kolektif untuk memperkuat kemandirian organisasi. Melebihi rencana semula penanaman 2.000 bibit alpukat, hingga saat ini petani sudah menanam sebanyak 3.000 bibit alpukat terdistribusi ke seluruh 9 desa anggota PPSS. Langkah ini bukan hanya memperkuat ekonomi, tapi juga meneguhkan pendudukan fisik dan pengelolaan lahan sebagai wujud nyata hak atas tanah.

Pemilihan jenis alpukat beralasan bahwa alpukat merupakan salah satu jenis tanaman buah berkayu yang cocok dengan kondisi ketinggian daerah Desa Langensari serta memiliki nilai jual yang stabil. Penanaman alpukat secara tumpang sari di lahan yang sama dengan tanaman pertanian. Hal ini untuk menjaga kualitas tanah dan air dan mencegah banjir dan longsor. Untuk menjaga kualitas lahan, selain  alpukat, petani PPSS juga menanam jeruk dengan fungsi yang sama. Agar dapat tumbuh optimal, alpukat ditanam dengan jarak tanam ideal 8 meter antar alpukat. Bibit alpukat didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota PPSS, setiap anggota mendapat 70 bibit alpukat untuk ditanam di lahan garapan mereka yang rata-rata luasnya  0,5 hektar. Dalam pengelolaan kolektif, petani memiliki perencanaan bagi hasil. Dari 10 pohon alpukat, hasil panen 1 pohon dikontribusikan untuk PPSS dan hasil panen 1 pohon lagi diperuntukkan untuk bersolidaritas dengan petani diluar anggota PPSS.

Masing-masing petani mengolah lahan dengan metode tumpang sari, tanaman berkayu (alpukat dan jeruk) dikombinasikan dengan tanaman sayuran seperti kol, cabai, terong, tomat, kacang panjang, wortel, sawi.  Metode tumpang sari ini dilakukan guna menjaga kualitas tanah dan air sehingga produktivitas lahan pun juga akan meningkat. Penggunaan pupuk juga dapat dikurangi karena ditanam pada satu lahan yang sama, mencegah degradasi lahan serta pencegahan terhadap kemungkinan banjir dan tanah longsor.

Lahan-lahan yang sudah dibuka dan diolah ini sudah dipetakan dan ada peta rincik. Pembagian lahan dilakukan secara adil dengan cara musyawarah. Setiap anggota berhak menggarap lahan sesuai dengan kapasitasnya mengelola lahan. Rata-rata petani disini menggarap 0,5 hektar – 1 hektar tergantung kesanggupan masing-masing petani dalam menggarap lahan. Karena untuk membuka lahan perlu modal dan tenaga sampai lahan yang dibuka dapat produktif menghasilkan.

Semenjak petani memiliki lahan garapan sendiri, meski tidak luas, mereka tidak lagi menjadi buruh tani seperti sebelumnya. Disampaikan oleh Bapak Dadang, bahwa tidak hanya bagi petani di Desa Langensari dan 3 anggota OTL desa lain, keberanian membuka lahan oleh anggota PPSS juga dirasakan petani lain di luar desa anggota PPSS dengan tersedianya  lapangan pekerjaan baru untuk mengelola pertanian tersebut.

PPSS memiliki rencana ke depan untuk membuat koperasi sebagai jalan alternatif untuk menjawab persoalan yang kini dihadapi oleh petani terkait kebutuhan modal dan juga masalah pemasaran hasil-hasil pertanian.

Bapak Dadang menyampaikan juga bahwa setelah memiliki lahan garapan, hidup petani di Desa Langensari dan 3 OTL lain menjadi lebih sejahtera. Kesempatan mengenyam pendidikan anak petani di 3 desa ini meningkat, rata-rata anak-anak petani dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat menengah atas. Selain itu juga petani memiliki mulai memiliki alat transportasi sendiri seperti motor, yang sebelumnya sangat jarang ditemui di kalangan petani dari 4 desa tersebut

“Manfaat dari penguasaan lahan ini membuat kehidupan petani lebih sejahtera. Dulunya mereka hanya buruh tani (bekerja di lahan orang lain) kini bisa menjadi petani dengan lahan garapan sendiri”

Langensari bukan hanya simbol perjuangan petani, tetapi juga simbol transformasi kesadaran. Dari ketakutan menjadi keberanian. Dari buruh tani menjadi pengelola tanahnya sendiri. Dari lahan terbengkalai menjadi ladang pembelajaran bagi generasi baru. Lahan seluas 262,8 hektar telah dikelola secara produktif oleh 235 keluarga petani PPSS. Anak-anak mereka bisa bersekolah lebih tinggi, keluarga memiliki kendaraan sendiri, dan solidaritas di antara petani semakin kuat. Perjalanan masih panjang—menuju pengakuan legal, keadilan agraria, dan kehidupan yang benar-benar berdaulat bagi petani. Namun, sebagaimana semangat yang diucapkan oleh Bapak Dadang,“Kami tidak keliru. Kami hanya sedang menegakkan hak kami sebagai petani dan warga negara Indonesia”

Scroll to Top