TOTAL DANA 2025 - 2027

$500,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA AGUSTUS 2023 - JULI 2024

$250,000

Institutional Support

TOTAL DANA OKTOBER 2024 - SEPTEMBER 2029

$5,000,000

General Support

TOTAL DUKUNGAN DANA $800,000

Agustus 2023 - September 2024 ( $300,000 )
Februari 2025 - Juli 2026 ( $500,000 )

Pendanaan Langsung ( Re-Granting )

TOTAL DUKUNGAN DANA 2023 - 2027

$1,050,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA 2024 - 2026

$2,500,000

Re-Granting - Endowment

Keajaiban Benih Lokal dan Pertanian Tradisional:  Melawan Pertanian tanpa Petani

Sawah mina padi di Komunitas Masyarakat Adat Nanggala

Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal memiliki peran utama dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup mereka terutama memastikan praktik sistem pangannya terjaga. Mereka menyadari seluruh komponen ekosistem yang terdapat di wilayahnya harus dirawat, memastikan keberlanjutan hidup bergenerasi termasuk: bertani, berladang, berkebun, dengan teknik-teknik yang mereka yakini secara turun-temurun. 

Salah satu bentuk praktik penting yang mereka pertahankan adalah pemuliaan benih lokal. Benih bukan sekadar bibit tanaman, tetapi merupakan bagian dari warisan budaya, pengetahuan kolektif, dan strategi masyarakat dalam beradaptasi terhadap perubahan alam dan iklim. Melalui proses pemuliaan yang berlangsung secara alami dan selektif selama puluhan hingga ratusan tahun, komunitas-komunitas ini telah menghasilkan varietas tanaman yang sesuai dengan kondisi geografis setempat, tahan terhadap hama dan penyakit, serta memiliki nilai gizi dan rasa yang tinggi. Benih-benih ini diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi penopang kedaulatan pangan di tingkat lokal.

Riska Ayu Purnamasari (Floresa.co, 25/11/2024), dari Fakultas Agroteknologi Universitas Gadjah Mada mengingatkan Indonesia dengan kondisi alam serta budaya yang beragam tidak bisa dipaksakan dengan penyeragaman pangan melalui penyeragaman benih. Dari sisi lingkungan, benih lokal lebih bisa beradaptasi dengan lingkungan, dan punya kemampuan tahan hama dan kekeringan, karena sudah beradaptasi dengan kondisi dan iklim setempat. Jika ada serangan hama besar-besaran, produktivitas jagung lokal mungkin menurun namun lebih bertahan daripada jagung hibrida. 

Perempuan Adat di Namblong

Masyarakat selama ini dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan mereka terkait upaya untuk mempertahankan keanekaragaman hayati, terutama dalam hal benih. Seperti yang tengah diperjuangkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) yang tengah berupaya mendorong Pemerintah Indonesia meratifikasi Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas/UNDROP). Deklarasi ini memandang petani memiliki hak atas benih yang termasuk di dalamnya perlindungan dan pengetahuan tradisional, serta pengambilan keputusan berhubungan dengan konservasi dan penggunaan sumber daya genetik tanaman pangan dan pertanian sampai dengan kebijakan benih dan perlindungan varietas tanaman yang memperhitungkan hak dan kebutuhan petani. 

Di Indonesia kebijakan perbenihan pasca disahkannya UU Cipta Kerja tahun 2020 diubah sedemikian rupa sehingga menjadi lebih terbuka terhadap pemasukan tanaman, hewan, termasuk benih hibrida atau benih unggul, yang berasal dari luar negeri. Aturan itu menghapus kebijakan lama yang melindungi dan mengembangkan budidaya benih lokal. Menurut laporan SPI dalam Laporan Situasi Hak Asasi Petani Indonesia (Desember 2020), kebijakan ini sama sekali tidak memihak kepada kemandirian petani atas benih. Cita-cita untuk mewujudkan kemandirian petani atas benih akan sulit dicapai jika pemerintah tidak mengambil kebijakan yang melindungi para petani.

tempat penyimpanan padi
Lumbung padi di P2B

Diperparah dengan kondisi sebagian besar petani di Indonesia adalah petani gurem, petani yang hanya menguasai tanah kurang dari 5.000 m2 atau  0,5 hektar. Menurut kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Laporan Tahunan Agraria (Desember 2023) selama kurun waktu dari 2013 hingga 2023 telah terjadi peningkatan guremisasi petani di Indonesia sebanyak 2,62 juta petani gurem atau naik 18,54 persen dari tahun 2013. Ini terjadi akibat penggusuran dan perampasan tanah pertanian untuk pembangunan infrastruktur dan investasi ekstraktif yang memaksa alih fungsi lahan. Persoalan ini berkontribusi besar menambah permasalahan yang dihadapi Masyarakat Adat, petani, dan masyarakat pedesaan. Kehilangan tanah mengakibatkan mereka kehilangan tradisi dan pengetahuan lokalnya.

Nusantara Fund mendorong praktik-praktik produksi dan konsumsi berkelanjutan yang menjadi prinsip utama Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal. Utamanya, mendukung masyarakat meningkatkan kapasitasnya dalam sistem pengelolaan sumber daya yang lebih bijak, serta memulihkan lanskap yang terdampak krisis ekologis. Nusantara Fund telah mendukung beberapa inisiatif Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal yang telah berhasil melakukan pemuliaan benih lokal ke praktik pertanian tradisional, multikultur, dan alami. Dunia menghadapi risiko besar kehilangan benih asli jika tidak ada upaya serius untuk membudidayakannya kembali. Kehilangan ini akan berdampak langsung pada keberlanjutan sistem pangan di masa depan. 

Perempuan PPSS sedang menyiangi lahan garapan

Andil Perempuan Mempertahankan Benih Lokal yang Terhubung dengan Kehidupan Tradisinya

Upaya yang dilakukan Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal untuk mempertahankan tradisi pertanian tradisional dimulai dengan strategi mereka untuk mengembalikan benih lokal. Tidak jarang ditemui perubahan lanskap pada wilayah mereka yang secara otomatis menghilangkan tradisi pertanian, termasuk jenis benih-benih lokal yang digunakan secara turun-temurun. Dalam hal ini perempuan memiliki andil besar dalam mempertahankan tradisi leluhur mereka dengan mentransfer pengetahuannya kepada generasi penerus.

Perempuan Adat Wologai menganyam daun enau

Seperti yang dilakukan oleh Perempuan Adat di Wologai, Ende, Nusa Tenggara Timur. Kini mereka sedang berupaya mengembalikan benih tanaman lokal yang sekarang sudah mulai hilang dari wilayah adat mereka. Perempuan Adat Wologai menyadari betapa pentingnya mengembalikan benih lokal tersebut sebagai bagian dari tradisi leluhur. Benih-benih yang disiapkan di antaranya adalah benih padi ladang, jagung lokal, kacang-kacangan, jewawut, ubi kayu, ubi jalar, koko, woso, uwi (ubi kelapa), keladi, suja (ubi rambut), mentimun, labu besi, labu jepang, lombok, terung, dan kecipir. Benih-benih ini bahkan ada ritualnya sebelum ditanam dan juga ada nyanyian khusus. Panen yang dilakukan hanya untuk pangan dan sebagian disisihkan untuk benih. Tidak hanya menyisihkan benih yang ada, mereka berhasil menemukan dari kampung lain bibit lokal yang hilang seperti sorgum, jali-jali, wijen, wate, dan pega (pegagan) untuk dikembangkan dari hasil penelusuran pengetahuan benih dari sejarah lokal. Mereka juga berinisiatif mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan. Pengetahuan tersebut diabadikan dan dipastikan dapat terjaga bagi keberlanjutan hidup generasi penerus mereka.

Seperti di Wologai, Kelompok perempuan di Namblong, Papua yang memiliki wadah organisasi bernama ORPA (Organisasi Perempuan Adat) Namblong terlibat dalam melakukan advokasi terhadap hak Masyarakat Adat yang tengah terancam akan adanya industri perkebunan sawit skala besar di wilayah adatnya. Kelompok perempuan ini memiliki strategi untuk mengkonsolidasikan gerakannya melalui noken, tas tradisional khas Papua. Mereka berinisiatif menanam 164 bibit mahkota dewa, anggrek, dan melinjo yang menjadi bahan baku membuat noken. Bibit tersebut ditanam di kebun dan pekarangan rumah masing-masing anggota sehingga tidak perlu lagi berjalan jauh ke dalam hutan. Akibat mulai sulitnya ditemukan bahan baku tersebut di hutan yang jaraknya dekat, setelah sebagian besar wilayah adat mereka diokupasi perkebunan sawit. Inisiatif ini juga untuk menumbuhkan ketertarikan orang muda mempelajari dan membuat noken. Perempuan Adat Namblong ingin anak-anak mereka bisa meneruskan pembuatan noken ke depannya sebagai bagian tidak terpisahkan dari identitas Papua dan juga memiliki nilai tambah ekonomi yang tidak merusak lingkungan. 

Sawah mina padi di Komunitas Masyarakat Adat Nanggala

Kembali Pada Praktik Pertanian Tradisional dan Benih Lokal

Petani di Gunung Anten dan Masyarakat Adat Kasepuhan Citorek, Banten senantiasa mempraktikkan pertanian tradisional dalam menanam padi huma tanpa menggunakan pestisida dan mampu bertahan di lahan kering. Mereka bahkan memiliki lumbung penyimpanan padi kolektif bernama leuit yang dapat menyimpan padi hingga 50 tahun. Mereka menganggap padi bukan hanya sebagai sumber pangan, tetapi juga sebagai simbol spiritual dan komponen utama dalam kehidupan kolektif mereka. Ritual dan tradisi adat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari setiap proses menanam hingga memanen padi. Menekankan pentingnya kebersamaan serta rasa syukur terhadap alam.

Saung pelatihan di komunitas Masyarakat Adat Nanggala

Begitu pula yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Nanggala di Toraya Utara mereka berupaya menghidupkan kembali praktik pertanian mina padi, sistem pertanian terpadu yang menggabungkan budidaya ikan mas di lahan sawah padi. Sehingga pertanian jenis ini mengurangi kemungkinan pemupukan kimia dan juga memiliki hasil ganda dari beras dan ikan mas yang dipanen pada satu area. Ikan mas menjadi komponen penting dalam sajian keseharian  maupun ritual seperti upacara adat “Rambu Tuka”. Kini mereka memiliki strategi baru untuk reaktivasi praktik penanaman padi dan budidaya ikan di lahan Masyarakat Adat menggunakan metode mina padi yang telah ditinggalkan sebelumnya.

Pemeliharaan praktik pertanian tradisional hidup secara turun-temurun sering kali juga dihadapkan pada situasi perusakan wilayah yang diakibatkan oleh ekspansi perusahaan skala besar. Ekspansi menyebabkan perubahan lanskap secara langsung membuat tradisi mereka yang erat terhadap alam mulai terganggu.

Sama halnya yang dialami oleh kelompok petani di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Petani kentang di sana menghadapi kesulitan mendapatkan benih unggul untuk memenuhi kebutuhan pasar. Mereka berupaya mengembalikan benih kentang berkualitas dari varietas lokal dengan teknologi modern metode stek mini dari kultur jaringan yang dikembangkan secara organik. Petani di Dieng ini bersama Rukun Tani Indonesia mengembangkan greenhouse khusus berstandar Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Greenhouse mampu menampung 2 ribu stek mini yang akan menghasilkan 15 ribu biji benih kentang bebas virus. Benih kentang akan ditanam dan mampu menghasilkan 16 ton kentang dan 4 ton benih. Selain itu, koperasi benih dibentuk untuk memastikan akses berkelanjutan petani Dieng dapat mengakses benih kentang berkualitas dengan harga terjangkau.

Seperti yang dialami oleh masyarakat di Desa Jambo Reuhat, Aceh Timur yang menghadapi konflik agraria dengan perusahaan sawit skala besar. Sebagian besar wilayah mereka telah dibebani izin perkebunan sawit. Hal tersebut membuat tradisi masyarakat dalam bertani dengan tanaman lokal mulai memudar. Masyarakat Desa Jambo Reuhat berinisiatif mengembalikan tradisi bertani dengan bibit lokal dan tanaman multikultur dengan menanam 21 ribu bibit terdiri dari 10 ribu bibit kopi, 1.500 bibit pala, 5 ribu bibit coklat, 1.500 bibit pepaya, 2 ribu bibit pete, dan seribu bibit lada didistribusikan untuk merehabilitasi lahan kelompok tani serta wilayah hutan adat seluas 81 hektar.

Petani Persaudaraan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS) memetik buncis

Hal yang sama juga dialami oleh Persaudaraan Petani Suryakencana Sukabumi (PPSS), yang tengah berjuang untuk mendapatkan kembali lahannya yang telah habis izin Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan teh skala besar. Selain memperkuat kapasitas anggota melalui pendidikan reforma agraria, PPSS menyadari pentingnya memiliki strategi penanaman untuk memperkuat kepemilikan petani dengan cara meningkatkan produktivitas lahan eks-HGU perkebunan. Sebagian besar lahan eks-HGU tersebut tidak dikelola dengan baik dan mereka khawatir akan bahaya bencana banjir serta longsor karena berada di daerah pegunungan. Oleh karena itu anggota PPSS berkomitmen untuk memulihkan dan senantiasa merawat lahan mereka dengan tetap mempertahankan pohon-pohon kayu besar dan menanam 3 ribu bibit alpukat yang didistribusikan di 9 desa anggotanya.

Delapan komunitas di atas hanya sebagian kecil inisiatif lokal yang menjamin keberlanjutan ekosistem di wilayah masing-masing. Terjaganya tanah, air, benih, dan tanaman lokal merupakan komponen ekosistem utama yang mendukung keberlanjutan tradisi lokal. Dan petani tidak hanya menjadi objek untuk pertanian tanpa petani yaitu konsumen benih hibrida yang seragam dari pengusaha benih dengan harga yang sulit dijangkau petani. Kontribusi skala komunitas seperti ini memiliki andil dalam pemulihan lingkungan yang lebih besar untuk mendukung penciptaan solusi krisis lingkungan dan pangan yang lebih adil dan efektif.

Scroll to Top