Wilayah Adat Kampung Tablasupa
Tahun 2024, angka emisi karbon di dunia telah mencatatkan rekor tertinggi. Sebanyak 37,4 miliar ton karbon, atau naik 0,8% dari tahun sebelumnya, dilepaskan ke atmosfer dari penggunaan bahan bakar fosil. Kondisi itu makin diperparah dengan menambahkan fakta hilangnya jutaan hektar tutupan hutan akibat pembangunan masif, agribisnis ekstraktif, pertambangan, dan kegiatan lain yang berujung pada eksploitasi alam. Dunia seperti tengah bersiap menghadapi malapetaka besar akibat aktivitas manusia yang menihilkan keberadaan alam tak lebih dari bahan dasar industri.
Dari semua pihak terkait, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal dianggap paling berperan dalam upaya penyerapan dan penyimpanan karbon. Dalam penelitian World Resources Institute (WRI) tahun 2023 menemukan bahwa hutan-hutan yang secara langsung dikelola atau dimiliki oleh Masyarakat Adat di Amazon mampu menyerap 340 juta ton karbondioksida yang tersebar di atmosfer setiap tahun. Temuan itu berbanding terbalik dengan wilayah di luar tutupan hutan atau yang telah mengalami deforestasi dan beralih fungsi menjadi kawasan industri maupun pertambangan yang sama sekali tak mampu menyerap serta menyimpan karbon. Penelitian WRI tersebut melengkapi penelitian kolaborasi antara Right and Resources Initiative (RRI), World Hole Research Center (WHRC), dan WRI tentang kontribusi lahan kolektif Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal untuk penyimpanan karbon pada 2018. Penelitian WRI (2023) memberikan bukti dari lanskap Amerika Latin. Sementara itu, penelitian RRI (2018) menyebutkan bahwa lahan kolektif Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di dunia mampu menyimpan kira-kira 293.061 juta metrik ton karbon di atas permukaan tanah. Data tersebut mendukung fakta peran Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal atas mitigasi krisis iklim, juga menunjukkan pentingnya berbagai upaya pengakuan dan perlindungan lahan yang dikuasai serta dikelola oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di seluruh dunia karena lebih adil dan berkelanjutan.
Rumah Pemantauan Cendrawasih untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati
Di Indonesia sendiri tahun 2024, Nusantara Fund telah mendukung pendanaan langsung kepada 250 Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal untuk upaya merestorasi bumi dengan meningkatkan stok karbon. Ragam program terkait berupa pemetaan wilayah, perlindungan dan pengakuan hak atas tanah atau teritori, serta rehabilitasi dan restorasi lahan dan hutan. Sepanjang tahun 2024, dari 157 inisiatif yang didukung dan 93 inisiatif yang sedang dilaksanakan, Nusantara Fund telah berhasil mendukung pemetaan wilayah seluas 293.782 hektar di 20 provinsi, 178.249 hektar lahan telah diusulkan untuk pengakuan di 12 provinsi, dan upaya rehabilitasi serta restorasi lahan seluas 32.257 hektar mencakup 24 provinsi. Dengan demikian Nusantara Fund telah mendukung perlindungan ekosistem yang berkontribusi pada peningkatan stok karbon di Wilayah Adat, Lokasi Prioritas Reforma Agraria, Wilayah Kelola Rakyat sebesar 505.878 hektar dari upaya pemetaan, pengakuan, dan restorasi serta rehabilitasi lahan. Jumlah ini akan bertambah lagi dari 93 inisiatif yang sedang berlangsung.
Sebagai contoh, di Kepulauan Aru, Maluku di Timur Indonesia, Masyarakat Adat melakukan pemetaan untuk mendapatkan pengakuan Wilayah Adat Nata Rebi dan Ngai Guli seluas 51 ribu hektar. Tidak hanya melakukan pemetaan tetapi juga Masyarakat Adat merehabilitasi dan merestorasi Hutan Adat “Djamona Raa” sebagai habitat cendrawasih di luar Papua dengan menanam pohon-pohon jangka panjang seperti cengkih dan pala, juga pohon buah-buahan. Di Sukabumi, Persaudaraan Petani Surya Kencana Sukabumi melakukan upaya klaim hak atas lahan prioritas reforma agraria dari eks Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan teh seluas 560 hektar. Mereka menanam sayuran untuk dijual, juga melakukan penanaman tanaman keras seperti berbagai jenis pohon alpukat, jeruk, jambu air, jambu getas, kopi, lemon, nangka, pisang. Dan mereka juga mempertahankan pohon-pohon yang telah ditanam oleh perkebunan seperti silver oak, jabon, pohon mani’i. Dari contoh ini kita dapat melihat niat baik masyarakat tingkat tapak demi menjaga kelestarian alam yang adil dan secara langsung meningkatkan penyimpanan karbon semakin meluas.
Namun, capaian yang telah direngkuh oleh 157 Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal ini tidak sebanding dengan angka kerusakan maupun angka-angka luasan lahan yang disodorkan dalam perencanaan proyek investasi ekstraktif di negeri ini. Tentu saja, rencana itu mengancam keberadaan dan hak-hak hidup Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal. Ketiadaan kepastian hukum yang melindungi dan mengakui hak-hak Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal tidak hanya akan menghapus identitas dan hak atas tanah serta peran masyarakat tingkat tapak. Tetapi juga akan memperlambat upaya penanggulangan krisis iklim. Hal itu tentu akan menjadi pukulan telak bagi semua pihak yang terlibat dalam kerja-kerja itu. Dari data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) per Maret 2025 menyebutkan baru 332.505 hektar yang sudah ditetapkan sebagai hutan adat dari 24.593.240 hektar yang berpotensi diajukan. Sementara itu, data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2024 hanya 5.400 hektar yang diredistribusikan ke masyarakat, dari target 9 juta hektar reforma agraria yang ditargetkan Pemerintahan Joko Widodo (2015 – 2024). Capaian itu terlalu kecil untuk mendukung pengakuan hak lahan kolektif masyarakat maupun upaya mitigasi krisis iklim.
Dukungan dari pemerintah dalam bentuk pengakuan hak atas tanah bagi Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal sangat dibutuhkan. Juga dukungan dari organisasi masyarakat sipil (OMS) dan filantropi bagi seluruh upaya pengakuan dan perlindungan atas lahan kolektif masyarakat. Dukungan itu perlu disadari sebagai usaha mengembalikan hak-hak dasar pemilik sejati tanah-tanah luhur yaitu kepada rakyat yang selama ini tidak diakui, selain sebagai lompatan besar bagi mitigasi perubahan iklim. Mungkin terdengar berlebihan bagi kelompok yang masih skeptis terhadap peran masyarakat tingkat tapak atas kondisi sosial dunia. Namun, toh demikian situasi sebenarnya. Bahwa ketika manusia modern sibuk meraup keuntungan pribadi maupun kelompok elite melalui kegiatan-kegiatan eksploitasi alam, mereka masih harus berjibaku dengan kebutuhan primer melalui aktivitas-aktivitas tradisional untuk merawat semesta demi generasi mendatang.