Burung Cendrawasi – Tablasupa Papua
Isu keanekaragaman hayati dengan krisis iklim sesungguhnya saling terkait. Krisis iklim menjadi salah satu sebab utama hilangnya keanekaragaman hayati, dan faktor-faktor lain seperti produksi pangan yang tidak berkelanjutan serta penggunaan sumber daya alam yang berlebihan. Demikian juga sebaliknya, bahwa keanekaragaman hayati yang ada di alam merupakan kunci sukses untuk mengurangi peningkatan suhu global. Misalnya, hutan maupun lahan gambut mampu menyerap emisi karbon yang berkelindan di udara.
Publikasi dalam Science pada tahun 2024 terkait tren dan skenario keanekaragaman hayati mendukung argumentasi itu. Menurut riset tersebut, selama abad ke-20 keanekaragaman hayati secara global menurun sebesar 2% sampai 11% akibat dari penggunaan lahan saja. Riset itu menyajikan perbandingan model proyeksi keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem menggunakan rangkaian penggunaan lahan dan perubahan iklim dari 1900 hingga 2015 dan tiga skenario masa depan dari 2015 hingga 2050. Hasil riset itu menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat menjadi pendorong utama penurunan keanekaragaman hayati pada pertengahan abad ke-21. Laporan lain dari penilaian IPCC (panel antarpemerintah tentang perubahan iklim) ke-6 tahun 2023 lalu yang melibatkan ratusan ilmuwan memperingatkan bahwa kenaikan suhu bumi mencapai 1,5 derajat celcius akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati pada spesies rentan punah sebesar 14% di hutan dan lahan, serta hilangnya terumbu karang setidaknya sebesar 70%. Laporan ini juga menyerukan pentingnya upaya penyelamatan lingkungan dengan melakukan restorasi dan rehabilitasi lahan dan hutan juga laut dengan cara bekerja sama langsung dan mendukung Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal. Pendanaan langsung yang memadai guna mengurangi kerusakan yang fatal pada bumi juga sangat dibutuhkan. Sebagai sebuah proyeksi ilmiah laporan ini sangat akurat dan terbukti sebelum mencapai 2030 pemanasan global telah mencapai 1,5 derajat celcius di tahun 2025.
Indonesia sendiri memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat beragam di dunia. Secara luas tutupan hutan, Kementerian Kehutanan menginformasikan di situs resminya bahwa Indonesia memiliki lahan berhutan seluas 95,5 juta hektar pada tahun 2024. Untuk hutan hujan tropis, Indonesia menempati peringkat ketiga dunia setelah Hutan Amazon di Brazil dan hutan di Republik Demokrasi Kongo. Dikenal sebagai negara maritim, Indonesia memiliki luas total perairan sekitar 6.400.000 km2. Terkait jenis ekosistem dan spesies pemerintah merilis data yang berhasil diidentifikasi hingga tahun 2022. Hasilnya, Indonesia memiliki 22 jenis ekosistem, 31.902 spesies flora, 81.260 spesies fauna terestrial, dan 7.841 fauna laut. Penelitian E.O. Wilson Biodiversity Foundation menyebut Indonesia memiliki 3.306 spesies vertebrata darat dan 1.004 spesies vertebrata darat endemik.
Keanekaragaman hayati merupakan sistem pendukung yang ada dalam ekosistem dan alam serta memiliki peran vital pada kehidupan manusia, maupun untuk lingkup yang lebih luas di semesta. Bila digambarkan, keanekaragaman hayati berwujud jaringan yang saling menopang. Tiap-tiap spesies dan organisme di dalamnya memiliki peran masing-masing serta unik yang menjaga kelangsungan hidup alam ini. Satu bagian saja dalam keanekaragaman hayati hilang, yang berdampak pada keseimbangannya, kekacauan berskala bencana mungkin saja terjadi sebagai konsekuensinya.

Dalam kehidupan manusia, keanekaragaman hayati menyediakan sumber pangan dan sumber daya alam lain yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia pada bangunan, pakaian, dan lain sebagainya. Begitu pun dalam kebudayaan manusia. Keanekaragaman hayati juga tertanam dalam tradisi dan seni masyarakat di Indonesia yang dapat kita temukan dalam berbagai wujud, seperti batik, tenun, lukisan, cerita rakyat, dan pahatan-pahatan di kampung adat. Di bidang pertanian keanekaragaman hayati memiliki peran penting untuk pengendalian hama dan penyakit; mikroorganisme membantu menggemburkan dan menyuburkan tanah. Dalam lanskap yang lebih spesifik, kita juga mengetahui bahwa ekosistem rawa dan bakau membantu menjaga kualitas air sekaligus habitat spesies lain, burung dan serangga bekerja dalam penyerbukan tumbuhan, pun bahwa ekosistem hutan memiliki kaitan langsung dalam mengatur iklim.
Namun, keanekaragaman hayati di Indonesia tengah menghadapi ancaman. Proyek-proyek berskala besar yang berkaitan dengan energi, pertambangan, jalan tol, dan pangan yang mengorbankan puluhan juta hektar kawasan hutan di berbagai pulau, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Proyek-proyek pembangunan juga merusak ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun hampir merata di berbagai pulau di Indonesia seperti Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Mengingat begitu luas dan kompleksnya persoalan penyelamatan keanekaragaman hayati, tentunya membutuhkan kerja keras. Pelibatan banyak pihak menjadi keniscayaan di sini karena dampak yang dirasakan telah menyentuh berbagai lini ruang dan kelompok seperti yang tengah Nusantara Fund upayakan. Nusantara Fund sebagai organisasi yang menyalurkan pendanaan langsung kepada Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal, petani, nelayan, perempuan, kaum muda, berupaya menggugah banyak kelompok dari kisah gerakan menyelamatkan keanekaragaman hayati yang melindungi nusantara.
Pertanian Tumpang Sari di dataran tinggi Dieng
Melindungi Nusantara
Seperti yang telah dijelaskan bahwa keanekaragaman hayati terwujud dalam banyak jaringan dan beragam peran yang begitu rumit sekaligus menopang satu sama lain yang memberikan solusi iklim yang alamiah. Untuk mencapai kelestarian keanekaragaman hayati pun bisa ditempuh dengan banyak cara. Setidaknya, ada empat kategori yang berhubungan dengan tema besar keanekaragaman hayati dalam program yang didanai oleh Nusantara Fund. Kategori pertama ialah penanaman dengan maksud menjaga keragaman organisme di kawasan hutan maupun di wilayah permukiman masyarakat sekaligus untuk restorasi dan rehabilitasi lahan kritis. Kedua, pendidikan kritis yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem hutan. Ketiga, pertanian atau produksi pangan yang berkelanjutan. Dan, terakhir, berkaitan dengan pelestarian dan perlindungan kawasan hutan, sungai, pesisir, serta satwa liar.
Pada inisiatif kategori pertama untuk penanaman, restorasi, dan rehabilitasi lahan ada 17 inisiatif. Masyarakat Adat Suku Balik Sepaku misalnya menanam beragam bibit pohon, seperti ulin, petai, kapur, meranti, dan sakura borneo. Mereka juga menghasilkan hukum adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya di hutan. Masyarakat Adat Sitonong melakukan penanaman andaliman, aren, kopi, dan kemiri di wilayah bekas perusahaan pasca penanaman pohon eukaliptus di Tapanuli Utara. Masih di Tapanuli Utara, Masyarakat Adat Ompu Bolus Simanjuntak menanam 17 ribu bibit yang terdiri dari kopi, cengkih, kayu manis, jengkol, dan sirsak di atas tanah kolektif seluas 20 hektar. Komunitas Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan-Dolok Parmonangan melakukan rehabilitasi di atas lahan seluas 4 hektar dengan bibit pohon kopi, kemiri, jengkol, dan petai. Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) membangun rumah pembibitan dan melakukan penanaman mangrove untuk melindungi wilayah pesisir Pulau Pari. Mereka, lebih tepatnya kelompok perempuan FPPP, juga memperluas perjuangan itu dengan cara mengajak wisatawan yang berkunjung untuk ikut terlibat dalam aksi penanaman mangrove. Selain itu, FPPP juga melakukan transplantasi terumbu karang di laut Pulau Pari yang kondisinya sudah rusak parah. Di Buleleng, Bali, Masyarakat Desa Adat Pedawa menanam 400 bibit pohon aren untuk menjaga sumber mata air mereka yang mengalami krisis akibat industri pariwisata. Masyarakat Adat Balai Tamunih di Kalimantan Selatan juga menanam bibit pohon aren, petai, kelapa, alpukat, dan durian. Di Banjarnegara, Jawa Tengah, Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (Hitambara) menanam bibit pohon durian, kopi, dan alpukat demi keasrian wilayah pegunungan mereka.

Inisiatif penanaman pohon juga berlangsung di wilayah Timur Indonesia. Masyarakat Adat di Kepulauan Aru telah melakukan penanaman sebanyak 200 bibit pohon di Hutan Adat Nata Rebi. Di Gowa, Sulawesi Selatan, sebanyak 4000an bibit pohon yang terdiri dari jenis pohon karoti, asa, enau, eukaliptus, jati putih, dan sengon ditanam oleh Masyarakat Adat Suka. Aksi penanaman itu sekaligus mengembalikan tradisi luhur mereka yang membiasakan menanam pohon saat melahirkan, saat anak mereka dewasa, hingga saat mereka melangsungkan perkawinan. Di Pulau Seram, Maluku, Komunitas Negeri Laiyuen juga melakukan penanaman bibit pohon pala, cengkih, rambutan, dan enau untuk memulihkan lahan kritis. Masyarakat Adat Wotai merehabilitasi lahan kolektif dengan cara menanam bibit pohon pala dan rambutan. Bergeser lebih ke ufuk timur, Masyarakat Adat Klisi di Jayapura menanam 500 bibit kayu besi, matoa, kopi, dan pohon sagu.
Pada inisiatif pendidikan kritis, guna menguatkan kesadaran masyarakat atas perlindungan wilayah hutan. Inisiatif yang membanggakan berasal dari Perempuan Adat Tilung Indung di Kalimantan Selatan. Perempuan Adat Tilung Indung meningkatkan literasi kelompok perempuan. Hasilnya tidak tanggung-tanggung, sebanyak 50 orang perempuan meningkat literasinya. Dengan literasi yang memadai, Perempuan Adat semakin memiliki pengetahuan yang menghindarkan mereka dari tipu daya yang berniat merampas hutan, ruang hidup dan penghidupan mereka. Komunitas kedua ialah Asosiasi Nelayan Tradisional (ANTRA) Sulawesi Utara. ANTRA bersama masyarakat pesisir Kota Manado menyelenggarakan program pendidikan yang akan melengkapi upaya-upaya perjuangan melindungi wilayah pesisir. Inisiatif ketiga ialah Aliansi Masyarakat Menggugat Keadilan (AMMK) di Jambo Reuhat, Aceh Timur. AMMK menggalang pendidikan advokasi yang bertujuan untuk pengamanan wilayah hutan dari pembalakan liar dan pembebasan lahan sengketa antara masyarakat Jambo Reuhat dengan perusahaan-perusahaan sawit di Aceh Timur. AMMK juga menanam bibit kopi sebanyak 10 ribu, 1.500 bibit pala, 5 ribu bibit coklat, dan seribu bibit pepaya di lahan seluas 81 hektar.
Pada kategori pertanian berkelanjutan ada empat inisiatif dengan berbagai model pertanian yang didukung oleh pendanaan Nusantara Fund. Model pertama ialah sistem pertanian yang memadukan tanaman pertanian dengan tanaman berkayu atau dikenal dengan istilah wanatani (agroforestry). Model kedua mirip dengan wanatani tetapi sekaligus memadukan pertanian dan peternakan dalam satu kawasan lahan pengelolaan atau agrosilvopastura. Model terakhir ialah tumpang sari, yaitu sistem pertanian dua atau lebih jenis tanaman dalam satu lahan.
Untuk sistem pertanian model wanatani diwakili oleh Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Karya Maju di Sorolangun, Jambi. KUPS Karya Maju mengelola kebun kopi telisak secara berkelanjutan. Selain itu mereka juga memadukan perkebunan kopi dengan keberadaan pohon sialang yang berperan pada produksi madu hutan. Selanjutnya, ada Kelompok Tani Bukit Kumbang di Bengkulu sebagai komunitas yang mempraktikkan agrosilvopastura. Kelompok ini mampu memadukan perkebunan kopi dan peternakan ayam di satu kawasan. Ke depan, mereka juga berencana untuk melakukan budidaya ikan di embung air yang mereka bangun guna menampung air hujan. Terakhir, ada dua inisiatif yang mempraktikkan model pertanian tumpang sari: Paguyuban Petani Aryo Blitar dan Masyarakat Adat dan Tempatan Rempang Bersatu. Paguyuban Petani Aryo Blitar melakukan budidaya kopi yang diintegrasikan dengan pala dan vanili sebagai naungan tanaman kopi. Sementara itu, Masyarakat Adat dan Tempatan Rempang Bersatu membangun pusat pembibitan dan demplot pertanian palawija, seperti cabe, kangkung, dan kemangi yang berperan untuk pemulihan lahan kolektif.
Kategori pelestarian dan perlindungan kawasan hutan, sungai, pesisir, serta tanaman dan satwa liar terdapat sembilan inisiatif. Inisiatif tersebut antara lain 7 pelestarian dan perlindungan kawasan hutan; 2 pelestarian dan perlindungan kawasan pesisir; 1 pelestarian dan perlindungan satwa liar. Sanggar Alam Delima (SAD) di Jambi membangun pendopo yang difungsikan sebagai pos pemantauan dan patroli guna mencegah kebakaran hutan serta lahan. Masih terkait dengan kebakaran hutan, KUPS Jasa Lingkungan Henda Lestari Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, membuat sekat bakar hijau sepanjang 4 ribu meter dan penanaman pohon belangiran sebanyak 3 ribu bibit pada jalur sekat bakar. KUPS Gula Aren Kampung Silit, Sintang, Kalimantan Barat melakukan pemetaan pohon aren guna mendukung usaha produksi gula aren tradisional. Komunitas Mosintuwu di Poso, Sulawesi Tengah, juga melakukan pemetaan pohon-pohon sumber makanan lebah yang sangat berjasa pada penyerbukan dan pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan hutan. Di Sigi, Sulawesi Tengah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Mantikole melakukan optimalisasi lembaga guna mengamankan dan melindungi kawasan hutan serta membangun sistem pemanfaatan hasil hutan secara berkelanjutan melalui berbagai usaha yang ramah lingkungan. Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (Ekonesia) bersama Kelompok Tani Hutan (KTH) Uampane Desa Pulu, Sigi melakukan perlindungan kawasan hutan melalui pengusulan skema hutan desa. Selanjutnya, di Jayapura, Kelompok Pecinta Alam (KPA) A’Memay mengusung upaya perlindungan kawasan hutan dan membangun pos pemantauan satwa endemik, cendrawasih. Terakhir, upaya terkait perlindungan kawasan pesisir terwakili oleh Masyarakat Desa Sungai Cemara di Jambi dan FPPP di Pulau Pari. Masyarakat Desa Sungai Cemara membudidayakan dan menanam mangrove di pesisir Tanjung Jabung Timur, sementara FPPP menanam mangrove dan transplantasi terumbu karang di Pulau Pari.
Tanaman Mangrove – Komunitas ANTRA
Secercah Harapan Baru
Berpuluh tahun yang akan datang, pohon-pohon yang ditanam hari ini tumbuh rimbun menutupi tanah yang gersang, gunung yang gundul. Sungai-sungai kembali mengalir jernih. Gerombolan ikan berenang bebas mengitari kumpulan terumbu karang yang terhampar luas di alas laut. Hutan, dengan pohon-pohon yang tinggi menjulang, telah menjadi tempat yang ramah bagi spesies-spesies di dalamnya. Kanak-kanak masa depan dengan riang gembira berlarian di sekitaran hutan, mendengarkan dengan perasaan takjub tonggeret yang berisik pada batang-batang pinus. Itulah lukisan yang bisa kita bayangkan seumpama kerja-kerja menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang telah diupayakan oleh para Pelindung Nusantara berhasil.
Artinya, pohon-pohon yang ditanam tidak ditebang secara besar-besaran demi kepentingan industrial. Tidak ada lagi pencaplokan tanah atau pengusiran masyarakat dari lahan produksi mereka atas nama investasi. Produksi pangan dilakukan dengan mengedepankan kepedulian akan alam. Penangkapan ikan dilakukan pada batas sewajarnya dan dengan cara-cara ramah lingkungan. Praktik-praktik kepentingan modal juga harus mampu menimbang urusan kelestarian alam dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat. Hanya dengan begitu imajinasi tentang lukisan alam yang asri dengan kelompok manusia hidup di dalamnya bakal terwujud.

Memang, diperlukan perubahan mendasar pada taraf kebiasaan, perilaku, hingga pola pikir kita dalam memandang keberadaan alam beserta isinya. Bahwa alam tidak lagi menempati posisi hanya sebagai objek pelengkap kebutuhan manusia. Namun memosisikan manusia dalam jalinan rantai simbiosis yang berhubungan langsung dengan alam. Juga diperlukan kebijakan publik yang mampu membatasi aktivitas-aktivitas perusakan sekaligus menjadi telinga untuk menampung suara-suara marjinal di berbagai daerah di negeri ini. Kebijakan publik tersebut juga mampu mengondisikan masyarakat ke arah imajinasi atas yang ideal. Kita perlu menggantikan imajinasi yang banal tentang perusakan alam dengan kisah-kisah pelestariannya dan penjaganya. Hanya dengan begitu kerja-kerja para Pelindung Nusantara di seantero negeri mampu memberikan makna pada kehadiran manusia dalam semesta.
Pengetahuan tentang melindungi alam melekat dalam keseharian masyarakat tingkat tapak. “Cendrawasih ini merupakan salah satu ikon. Secara khusus, Papua, ini satwa endemik kita yang perlu kita jaga. Kalau kita tidak menjaga cendrawasih nanti kita sama dengan harimau Bali.” Jelas Silas Nicodemus Demetow, anggota KPA A’memay. “Harimau Bali itu tinggal kenangan. Jangan sampai itu terjadi di Papua.”
“Sebelum ada pemerintah, itu adat sudah ada. Tuhan pun ada di dalam adat, terus mengingatkan kita tentang bagaimana menjaga hutan. Hutan kami adalah hutan adat, kami adalah Orang Adat, nenek moyang kami juga Orang Adat, laut adalah laut adat. Sehingga masyarakat tetap berkomitmen, apapun alasan, harus diakui oleh negara.” Tambahnya.