
Hari itu, Rabu, 14 Agustus 2024, Ismail dan Riadi berkunjung ke Kantor Nusantara Fund, kira-kira pukul 16.00 WIB. Mereka berdua adalah masyarakat Kampung Pasir Panjang, Rempang, Kepulauan Riau. Bersama dengan masyarakat Rempang yang lain, mereka menggelar aksi di depan Kedutaan Besar Tiongkok hari itu. Nusantara Fund secara khusus mengundang mereka berdua untuk bertukar kisah tentang program pertanian yang mereka lakukan.
“Lahan kelompok Pasir Panjang [yang digunakan] dan itu kita bentuk ada ketua, ada sekretaris, ada bendahara,” Kata Ismail menceritakan lahan yang dipakai oleh masyarakat Pasir Panjang untuk program pertanian yang didanai oleh Nusantara Fund.
Luas lahan pertanian yang mereka kelola kira-kira 2 hektar. Secara pengelolaan, masyarakat Pasir Panjang yang melaksanakannya. Namun, secara teknis, ada 6 orang bertanggung jawab untuk merawat tanaman di lahan itu.
Masyarakat Pasir Panjang mengelola lahan itu dengan cara campursari. Mereka menanaminya dengan cabai, kangkung, kemangi, dan pisang. Metode campursari dipilih karena cara itu dapat menjaga kesuburan tanah dari eksploitasi pertanian.
“Memang itu sudah jadi kehendak masyarakat. Kemudian kami juga berusaha menjaga kultur tanahnya. Takut umpamanya kalau kemangi terus-menerus [yang ditanam] dia [tanah] pada akhirnya akan kalah, nih. Makanya kita harus ganti lagi dengan tanaman lain,” Jelas Ismail.
Harga pasaran juga menjadi alasan pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan. Karena hasil usaha kolektif itu nantinya akan dimasukkan ke dalam kas komunitas. Hasil dari usaha kolektif itu diperuntukkan kegiatan-kegiatan komunitas, seperti membiayai keberangkatan Ismail dan Riadi ke Jakarta untuk aksi dan kegiatan komunitas lainnya. Pengurus komunitas yang bertanggung jawab pada pengelolaan keuangan, sementara masyarakat Pasir Panjang sebagai anggota akan mengevaluasi laporan keuangan itu setiap akhir panen.
“Kemudian menyangkut pasaran, tidak selamanya itu kemangi juga punya harga. Ada titik-titik tertentu itu dia [kemangi] jatuh harga. Kalau cabe ini kan stabil harganya,” Tambahnya.
Upaya penanaman kolektif itu bermula dari konflik perebutan tanah masyarakat oleh perusahaan melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City. Masyarakat menggunakan pendanaan Nusantara Fund untuk mulai bertani karena hasil laut mereka terancam. Menurut Riadi, peralihan dari nelayan ke petani tidak terlalu sulit karena mereka belajar dan bekerja secara gotong royong.
“Kalau kendala tentang pertanian ini memang ada sedikit tentang cuaca ya tapi kan di situ kita ada ahli-ahlinya juga. Yang kami kenal kayak kami angkat sebagai ketua. Ada juga tetangga kami memang aslinya berkebun. Di situ dia sering aktif untuk mengajar lah, untuk menjadi guru,” Terang Riadi.

Pertanian di Sembulang Hulu
Program pertanian yang didanai Nusantara Fund dilaksanakan di 2 kampung. Selain Pasir Panjang, masyarakat Kampung Sembulang Hulu juga melaksanakan penanaman kemangi di lahan bersama seluas 1 hektar. Dian, masyarakat Kampung Sembulang Hulu, menjelaskan kemangi dipilih karena tanaman itu mudah diurus tanpa perlu menggunakan pupuk kimia.
Selain itu, kemangi juga tidak memerlukan perawatan intens. “Kemangi ini kan setelah tanam ini nggak perlu pakai cacak. Dia tinggal potong aja pakai gunting. Jadi ada satu dua orang aja tukang potong udah aman,” Terang Dian.
Untuk saat ini lahan itu diurus oleh 2 orang masyarakat Sembulang Hulu. Masyarakat Sembulang Hulu yang lain masih tetap melaut, termasuk Dian, juga dengan pembentukan AMAR-GB kesibukan mereka semakin bertambah. Karena itu keterlibatan masyarakat Sembulang Hulu yang lain dalam pengolahan lahan bersama hanya terjadi pada saat-saat tertentu saja.
Hasil penanaman itu masih belum bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama atau hanya cukup untuk mengganti tenaga kerja 2 orang pengurus lahan. Harga 1 kg kemangi di pasaran lokal sekira Rp7.000, sementara sekali panen mereka memperoleh 20-30 kg kemangi. Nantinya, Dian dan masyarakat Sembulang Hulu akan mengembangkan lahan tersebut dengan menanam kenikir dan serai. Untuk sementara kemangi hanya ditanam di seperempat bagian pada 1 hektar lahan bersama. “Jadi kita tak bisa sekaligus. Kita pelan-pelan, yang penting berjalan aja istilahnya,” Kata Dian.

Mempertahankan Ruang Hidup
Seperti dijelaskan oleh Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat (WKR) WALHI Riau Eko Yunanda, pengajuan pengakuan WKR masyarakat Rempang harus melewati urusan administrasi yang berliku. Belum lagi soal ketiadaan dukungan pemerintahan tingkat bawah. Sementara itu, di tengah minimnya dukungan dari pemerintah daerah, masyarakat Rempang membutuhkan kepastian atas legalitas tanah yang mereka tempati secepatnya. “Kalau mereka tuh kadang karena ini konflik jadi akhirnya skema apalah yang menurut mereka bisa cepat dan mereka bisa memiliki legalitas yang menurut mereka kuat dipegang,” Jelas Eko.
Alasan itu mudah dipahami menimbang bahwa di tanah itulah mereka lahir, tumbuh dewasa dengan orang-orang terdekat, dan membesarkan generasi yang terlahir dengan keringat mereka sendiri. Tumpukan kenangan itu tidak ternilai harganya bagi mereka dan tidak dapat ditukar dengan apapun, bahkan dengan uang kerohiman maupun permukiman baru.
Perasaan itulah yang mendorong generasi muda seperti Ratna untuk turun terlibat memperjuangkan tanah dan nasib orang-orang yang tinggal di sana. “Karena kan emang kita udah terlalu lama ya di situ. Pindah pun kita gak bisa juga kebeli memori di tempat yang baru. Terus juga udah terlalu banyak kisah-kisah lama di situ. Jadi pemerintah seharusnya ngedenger masyarakat, apa yang diinginkan masyarakat.” Ungkapnya.
Namun, Ratna tidak mau dibilang bahwa upaya-upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan ruang hidup dan hak-hak mereka ialah bentuk antipati terhadap investasi, pemerataan infrastruktur maupun ekonomi seperti klaim pemerintah. “Kami itu tidak anti investasi. Kami terima investasi selagi investasi itu tidak merusak laut dan darat. Terus juga enggak ngambil hak kami, tanah kami. Biarlah masyarakat tinggal kayak pada dasarnya, di tempat masing-masing.” Tambahnya.
Senada dengan suara Ratna, Ismail yang mewakili generasi yang lebih senior pun memilih tidak akan mundur demi mempertahankan tanah leluhurnya dari kepentingan investasi. Dia juga berharap bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat Rempang dapat menginspirasi masyarakat wilayah lain yang memiliki nasib yang sama untuk memperjuangkan tanah mereka. “Bagi kawan-kawan dari luar sana, yang ada dari Papua sampai Aceh, mudah-mudahan tetap yakin bahwa tanah ini adalah tanah tumpah darah kita. Kita tidak mau digusur walau selangkah pun,” Tegasnya.
