TOTAL DANA 2025 - 2027

$500,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA AGUSTUS 2023 - JULI 2024

$250,000

Institutional Support

TOTAL DANA OKTOBER 2024 - SEPTEMBER 2029

$5,000,000

General Support

TOTAL DUKUNGAN DANA $800,000

Agustus 2023 - September 2024 ( $300,000 )
Februari 2025 - Juli 2026 ( $500,000 )

Pendanaan Langsung ( Re-Granting )

TOTAL DUKUNGAN DANA 2023 - 2027

$1,050,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA 2024 - 2026

$2,500,000

Re-Granting - Endowment
Sumber Foto : Masyarakat Adat Bau / KUMA Mesa Indo’na / PD AMAN Toraya

Masyarakat Adat Bau – KUMA Mesa Indo’na

Program

Mewujudkan Gerakan Masyarakat Adat melalui Rehabilitasi Wilayah Adat Bau dan Penguatan KUMA Mesa Indo’na

Organisasi Penanggung Jawab
AMAN
Lokasi
Sulawesi Selatan
Pendanaan Langsung
Rp100,000,000
Periode
Mulai
01/12/2024
Berakhir
31/05/2025
Target
Pemetaan Wilayah Adat, Wilayah Kelola Rakyat, dan Lokasi Prioritas Reforma Agraria
Status
Berjalan

Bagikan ke :

Facebook
WhatsApp
X

Tallu Lolona (Tiga Pucuk Kehidupan) – Falsafah Tana Toraja untuk Menjaga Hutan Adat Bau

Sekitar 95% dari Wilayah Adat Bau di Kabupaten Tana Toraja ditetapkan sebagai kawasan hutan negara, membuat Masyarakat Adat Bau kehilangan kendali atas ruang hidupnya sendiri. Penetapan juga tentu menghambat pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan dan jembatan, serta menutup ruang dan akses Masyarakat Adat dalam pengelolaan wilayah adat. Mereka terancam tidak berdaulat di atas tanah yang telah mereka warisi dan jaga turun-temurun.

Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan negara terus berlangsung. Usulan Peraturan Daerah tentang pengukuhan dan perlindungan Masyarakat Adat di Tana Toraja telah diparipurnakan oleh DPRD dan tinggal menunggu pengesahan. Namun proses selanjutnya masih tertahan. Ketidakpastian ini memperpanjang jalan terjal pengajuan pengakuan Wilayah Adat Bau. 

Dalam konteks itu, Masyarakat Adat Bau, Kelompok Usaha Masyarakat Adat – KUMA Mesa Indo’na, bersama PD AMAN Toraya memulai langkah memperkuat upaya mendapatkan pengakuan negara atas Wilayah Adat Bau. Kegiatan dimulai dari konsolidasi dan sosialisasi, kemudian berlanjut ke dua fokus utama: rehabilitasi Wilayah Adat Bau melalui penanaman pohon lokal dan usaha Masyarakat Adat melalui peternakan kolektif babi.

 

Rehabilitasi Wilayah Adat Bau

Rehabilitasi Wilayah Adat Bau dilakukan dengan menanam 2.000 pohon keras lokal yang juga memiliki nilai ekonomi, yaitu pohon sogang dan bulung. Penanaman pohon tersebar di berbagai titik wilayah adat Bau, dengan total wilayah sebaran mencapai 6 hektar. Sebanyak 45 orang  Masyarakat Adat Bau terlibat, dalam penanaman yang dilakukan secara individu maupun bersama. Musim kemarau menyebabkan sebagian pohon yang ditanam tidak bertahan hidup. Namun, untungnya tidak meruntuhkan semangat, penanaman ulang terus dilakukan. 

Pohon sogang adalah nama lain dari secang (Caesalpinia sappan L.), yang dikenal luas karena manfaatnya dalam pengobatan tradisional dan pewarna alami. Pohon bulung atau lazim dikenal sebagai rumbia (Metroxylon sagu) adalah sumber salah satu makanan pokok masyarakat wilayah timur Indonesia. Satu pohon rumbia dapat menghasilkan 150-300 kilogram bahan baku tepung sagu. Rumbia juga bisa menjadi sumber bahan bangunan dan kayu bakar yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar hutan. 

Penanaman pohon-pohon endemik ini merupakan upaya rehabilitasi Wilayah Adat Bau dan jadi penanda fisik Wilayah Adat Bau. Pohon sogang dan bulung termasuk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Pohon-pohon keras ini juga berkontribusi untuk menjaga ekosistem hutan dengan menahan erosi dan mencegah banjir melalui perakaran yang kuat, yang menata air di dalam tanah. Masyarakat Adat Bau menyadari bahwa pohon-pohon endemik jauh lebih relevan dengan konteks ekologis dan budaya, dan tentunya lebih tangguh. 

 

Peternakan Kolektif Babi KUMA Mesa Indo’na

Sementara itu, sektor peternakan menjadi elemen penting lain dalam strategi Masyarakat Adat Bau. Babi adalah hewan utama dalam berbagai ritual adat di Toraja,  baik dalam ritual adat Rambu Solo’ (ritual kedukaan) maupun ritual adat rambu Tuka’ (ritual syukuran). Namun ketersediaan babi di Wilayah Adat Bau sangat terbatas, sementara harga pasar seringkali melonjak drastis mencapai tiga kali lipat dari harga normal. Untuk menjawab persoalan ini, kelompok memutuskan membangun peternakan kolektif babi melalui pengadaan induk babi yang siap berkembang biak.

Sebanyak sembilan ekor indukan dan satu pejantan dibeli dan disalurkan ke anggota KUMA Mesa Indo’na. Selain itu, tiga ekor anak babi ditambahkan untuk menggantikan indukan yang mati mendadak. Monitoring tahap pertama dan kedua menunjukkan adanya pertumbuhan signifikan pada ternak, meskipun ada satu indukan bunting yang mati akibat stres perjalanan. Proses penggantian induk babi dilakukan.

Semua induk babi telah diberi vaksin dan vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Dalam waktu singkat, sebagian dari induk babi memasuki masa gestasi (periode waktu antara pembuahan (konsepsi) dan kelahiran janin, yang terjadi di dalam rahim hewan betina), menandakan keberhasilan awal dari pembibitan yang coba dibangun oleh Masyarakat Adat Bau. 

Untuk mendukung keberhasilan peternakan babi, penyuluhan teknis oleh penyuluh peternakan khusus dihadirkan. Para anggota anggota KUMA Mesa Indo’na, termasuk yang semula pesimistis akibat pengalaman masa lalu dengan bantuan pemerintah yang tidak pernah terealisasi, aktif dan antusias mengikuti jalannya penyuluhan. 

Hasil peternakan kolektif babi KUMA Mesa Indo’na hasilnya nanti tak cuma untuk kebutuhan ritual Masyarakat Adat Bau, tetapi jadi sumber ekonomi alternatif dan model ekonomi kolektif berbasis Masyarakat Adat yang adil dan lestari.

 

Tallu Lolona (Tiga Pucuk Kehidupan)

Yang terpenting dari inisiatif Masyarakat Adat Bau bersama KUMA Mesa Indo’na adalah menjaga keterhubungan antara Lolo Tau (manusia), Lolo Patuan (hewan), dan Lolo Tananan (tumbuhan). Inilah falsafah Toraja yang dikenal sebagai Tallu Lolona, tiga pucuk kehidupan yang tak dapat dipisahkan.

Bagi orang Toraja, keseimbangan hidup hanya terwujud bila manusia menjaga tiga relasi utama: dengan Puang Matua (Sang Pencipta) dan leluhur, dengan sesama manusia, serta dengan alam (hewan dan tanaman). Merusak salah satunya dipandang sebagai dosa terhadap Puang Matua sekaligus gangguan terhadap harmoni semesta. Ketidakharmonisan itu diyakini membawa akibat buruk—hasil panen menurun, ternak mati, hingga ancaman kelaparan dan kepunahan.

Falsafah Tallu Lolona menjadi nafas kehidupan Masyarakat Adat Bau. Nilai ini universal dan tetap relevan hingga kini, mengajarkan bahwa kebaikan hanya tercapai ketika manusia, hewan, dan tumbuhan berjalan bersama untuk harmoni semesta. Falsafah tersebut terwujud dengan kerja bersama untuk bersama, menjaga kelestarian Hutan Adat Bau dengan menanam pohon dan memelihara babi untuk menopang penghidupan.

Scroll to Top