TOTAL DANA 2025 - 2027

$500,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA AGUSTUS 2023 - JULI 2024

$250,000

Institutional Support

TOTAL DANA OKTOBER 2024 - SEPTEMBER 2029

$5,000,000

General Support

TOTAL DUKUNGAN DANA $800,000

Agustus 2023 - September 2024 ( $300,000 )
Februari 2025 - Juli 2026 ( $500,000 )

Pendanaan Langsung ( Re-Granting )

TOTAL DUKUNGAN DANA 2023 - 2027

$1,050,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA 2024 - 2026

$2,500,000

Re-Granting - Endowment

Pendanaan langsung: solusi efektif keadilan iklim dan perlindungan bumi

Indonesia memiliki kekayaan alam yang -membentang dari Sumatera hingga Papua. Negara kepulauan yang memiliki ragam jenis ekosistem alam, mulai dari hutan hujan tropis, kawasan pesisir dan laut, hingga terumbu karang yang menjadi habitat jutaan keanekaragaman hayati dan jadi sumber penghidupan bagi jutaan orang. Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan, dan Generasi Muda adalah yang termasuk memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem yang ada di wilayahnya masing-masing. Melalui praktik-praktik baik dalam pengelolaan wilayahnya, mereka terbukti mampu menjaga keberlanjutan ekosistem, tanpa merusak melalui aktivitas yang ramah terhadap bumi. Terus merawat lingkungan tempat mereka tinggal, karena disitu jugalah sumber penghidupan mereka berasal.

Namun, dunia saat ini menghadapi krisis mendesak akibat perubahan iklim. Krisis yang dipicu oleh aktivitas manusia yang merusak bumi secara masif sejak abad ke-18. Terutama  pasca revolusi industri, ketika pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam meningkat pesat. Aktivitas ini mengakibatkan penumpukan emisi gas rumah kaca di atmosfer yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Akibatnya, suhu bumi terus meningkat, iklim menjadi tidak menentu, dan bencana alam semakin sering terjadi, menimbulkan efek berantai buruk yang mengancam keseimbangan alam serta seluruh kehidupan di dalamnya. 

Di daratan, musim tanam dan panen tidak lagi bisa diprediksi Kekeringan berkepanjangan, perubahan suhu, dan pola curah hujan yang tak menentu mempercepat siklus hidup hama dan penyakit tanaman, memperluas wilayah penyebarannya, serta melemahkan ketahanan tanaman. Kondisi ini pun makin sulit dikendalikan karena hama dan penyakit kian hari kian kebal terhadap berbagai upaya pengendalian. . Situasi ini diperparah dengan maraknya aktivitas industri ekstraktif Hutan-hutan yang menjadi kantong penyimpan karbon dibabat habis-habisan, dibuka untuk kepentingan perkebunan dan pertambangan skala besar. 

Sedang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, gelombang tinggi dan badai tropis semakin sering melanda, sementara permukaan air laut terus meningkat dan mendorong intrusi air laut ke daratan. Sejumlah sumber mencatat bahwa hingga saat ini sekitar 200 pulau di Indonesia telah hilang akibat kenaikan permukaan air laut yang dipicu oleh perubahan iklim, aktivitas manusia, maupun bencana alam. Lebih dari 2.000 pulau lainnya diperkirakan terancam tenggelam dalam beberapa dekade mendatang akibat pemanasan global, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2025.

Wilayah tangkap nelayan tradisional pun semakin jauh karena pemanasan laut menggeser pola pergerakan dan perkembangbiakan ikan serta biota laut lainnya. Pemanasan laut yang sama, disertai tekanan dari aktivitas aktivitas manusia yang merusak, juga mempercepat kerusakan habitat dan ekosistem pesisir seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Hilangnya ekosistem ini juga berarti hilangnya benteng alami yang selama ini melindungi wilayah pesisir dari abrasi dan banjir rob.

Praktik Masyarakat yang Selaras Alam sebagai Solusi

Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan, dan Generasi Muda merupakan kelompok yang paling terdampak oleh krisis iklim, baik di daratan maupun wilayah laut dan pesisir. Di banyak wilayah, mereka kehilangan akses terhadap pangan, air, dan tanah, sumber kehidupan yang selama ini menopang keberlangsungan komunitas. Gagal panen, menurunnya hasil tangkapan, dan kerusakan ekosistem membuat mereka semakin rentan secara ekonomi, sosial, dan ekologis.

Padahal, merekalah pelindung alam terbaik. Praktik, pengetahuan, dan tradisi mereka telah terbukti menjaga bumi dari generasi ke generasi, menunjukkan bahwa manusia dapat mengelola alam tanpa merusaknya, bahkan menjadikannya lebih lestari. Ritual dan praktik keseharian mereka menjadi bukti nyata bahwa pengelolaan alam yang selaras dengan ekosistem adalah cara hidup.

Masyarakat Adat memainkan peran sentral dalam menjaga wilayah adat, termasuk hutan yang kaya flora dan fauna. Di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Dayak Iban Menua Engkrejai melaksanakan ritual di situs kuno kaki keling, yang dipercayai sebagai tempat leluhur, sekaligus melindungi sungai dan hutan di sekitarnya melalui hukum adat. Di Gowa, Sulawesi Selatan, Masyarakat Adat Suka menghidupkan kembali tradisi menanam pohon di hutan adat sebagai penanda fase penting kehidupan, dari kelahiran hingga pernikahan, sekaligus memastikan keberlanjutan sumber daya bagi generasi mendatang.

Begitu pula petani, yang aktivitasnya tidak bisa lepas dari tanah. Beberapa tetap teguh melakukan praktik pertanian selaras alam, dengan pengetahuan dan ragam metode yang telah diterapkan dan disempurnakan selama puluhan tahun untuk menjaga produktivitas dan keseimbangan ekosistem. Contohnya, Serikat Tani Independen (SEKTI) di Jember, Jawa Timur, memproduksi pupuk organik dari kotoran sapi dan kambing untuk pertanian melon mereka, meningkatkan kesuburan tanah dan hasil produksi tanpa merusak lingkungan.

Tidak hanya itu, petani yang sehari-hari aktivitasnya tergantung pada alam, mereka yang paling terdampak oleh krisis iklim. Mereka justru tidak memiliki kepastian atau akses legal terhadap lahan yang mereka kelola. Kondisi ini membuat mereka semakin rentan terhadap konflik agraria dan sulit merencanakan produksi pangan secara berkelanjutan. Seperti yang dialami Serikat Petani Majalengka (SPM) mereka berupaya memperkuat posisi komunitas dengan melakukan identifikasi dan pemetaan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Pemetaan ini menjadi solusi iklim berbasis komunitas, membantu memastikan bahwa lahan dikelola secara adil, terlindungi dari klaim pihak luar, dan dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan.

Kelompok nelayan dan masyarakat pesisir menghadapi tantangan berbeda, termasuk ancaman penggusuran, tambang dan degradasi ekosistem. Masyarakat di Pulau Pari, Jakarta misalnya, yang menghadapi ancaman penggusuran oleh perusahaan pariwisata skala besar dan resiko abrasi dan dan banjir rob. Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) memimpin upaya melindungi hutan mangrove dan terumbu karang melalui penanaman mangrove, rehabilitasi terumbu karang, serta usaha ekonomi yang dikelola oleh kelompok perempuan setempat.

Sementara di Belinyu, Kepulauan Bangka Belitung, kelompok orang muda dari KOMPALA (Komunitas Pecinta Alam) Belinyu menghidupkan ruang edukasi  Akademi Ekologi untuk menumbuhkan kesadaran kritis dalam menjaga ekosistem pesisir. Mereka juga mengaktifkan patroli rutin guna memantau aktivitas ekstraksi tambang yang merusak ekosistem kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah perairan utara Bangka.

Kisah pelestarian alam oleh Masyarakat Adat, petani, nelayan, perempuan, dan generasi muda tersebut menunjukkan bahwa solusi untuk menghadapi krisis iklim sudah ada di tangan. Namun, agar praktik dan pengetahuan yang terbukti efektif ini dapat bertahan dan berkembang, mereka membutuhkan akses langsung terhadap sumber daya yang memungkinkan mereka membuat keputusan atas wilayah dan ekosistemnya sendiri. 

Pendanaan Langsung: Jawaban untuk Keadilan Iklim

Dari hutan hingga lautan, dari dataran tinggi hingga pesisir, Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal termasuk Petani, Nelayan, Perempuan, dan Generasi Muda, berdiri sebagai barisan pertama penjaga kehidupan. Mereka menjaga hutan tropis, laut, dan sumber daya alam dari cengkeraman krisis iklim. Namun, mereka hanya dapat terus melindungi wilayah dan pengetahuannya jika memiliki hak serta sumber daya untuk mengelolanya.

Hingga akhir tahun 2024, total komitmen dana iklim global yang diperuntukkan bagi Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal mencapai USD 1,86 miliar untuk periode lima tahun (2021–2025), sebagaimana tercantum dalam FTFG Annual Report 2024–2025. Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 7,6% yang benar-benar diterima langsung oleh komunitas di lapangan—turun dari 10,6% pada tahun sebelumnya. Di balik angka ini tersimpan kenyataan pahit: mereka yang paling berkontribusi menjaga bumi justru paling sedikit menerima dukungan untuk melanjutkan peran penting itu.

Masalahnya bukan hanya pada besaran dana, tetapi pada cara dana tersebut disalurkan dan dikelola. Banyak mekanisme pendanaan iklim global masih terjebak dalam logika lama yang birokratis dan teknokratis, menempatkan komunitas sebagai penerima bantuan yang harus menyesuaikan diri dengan sistem donor. Birokrasi rumit, syarat administratif yang panjang, dan indikator teknis yang kaku sering kali menjadi penghalang utama. Padahal, kekuatan komunitas tidak terletak pada kemampuan menulis proposal atau laporan, melainkan pada kearifan mereka menjaga keseimbangan ekosistem, pengetahuan yang telah diwariskan beratus tahun lintas generasi.

Untuk menjawab tantangan ini, berbagai inisiatif pendanaan baru mulai bermunculan di berbagai belahan dunia. Istilahnya beragam, tetapi mereka berbagi dua prinsip dasar: pertama, dana ini lahir dari organisasi masyarakat yang memperjuangkan hak dan pengakuan atas wilayahnya; kedua, tata kelolanya berakar pada gerakan itu sendiri. Pendekatan ini menekankan kepercayaan dan hubungan timbal balik, menggantikan paradigma hierarkis antara pemberi dan penerima hibah. Dengan cara ini, mereka ikut mendekolonialisasi praktik filantropi global menuju arah yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Di Indonesia, Dana Nusantara menjadi bagian dari gelombang perubahan ini. Lahir dari tiga gerakan rakyat terbesar: AMAN, WALHI, dan KPA, Dana Nusantara menjawab tantangan birokrasi yang berbelit dan mekanisme donor yang sering kali mengasingkan komunitas. Melalui pendekatan kepercayaan dan sistem administrasi yang lentur namun tetap akuntabel, Dana Nusantara mengembalikan kendali kepada mereka yang paling memahami kebutuhan dan dinamika wilayahnya.

Melalui skema pendanaan langsung, Masyarakat Adat, Petani, Nelayan, Perempuan, dan Generasi Muda kini dapat menentukan sendiri bagaimana dana digunakan untuk memperkuat kedaulatan serta ketahanan sosial dan ekologis mereka. Mereka merancang, melaksanakan, dan menilai sendiri inisiatif yang mereka jalankan—membangun rasa kepemilikan dan tanggung jawab yang sejati. Bukti di berbagai wilayah menunjukkan: ketika komunitas dipercaya, hasilnya bukan hanya lebih efektif, tetapi juga lebih adil dan berkelanjutan.

Pada COP30 di Belém, Brasil, dunia dihadapkan pada pertanyaan yang menentukan: siapa yang benar-benar memegang kendali atas masa depan bumi? Apakah kita akan terus mempertahankan sistem lama yang menempatkan para penjaga bumi sebagai penerima bantuan?

Keadilan iklim adalah persoalan etika dan sosial yang mendasar, kenapa mereka yang paling sedikit menyumbang emisi gas rumah kaca malah jadi yang paling terbatas aksesnya pada sumber daya dan menanggung beban paling berat.  Keadilan iklim menuntut pengakuan hak, distribusi sumber daya yang adil, serta penguatan suara dan kendali bagi komunitas yang paling rentan, agar mereka dapat melindungi kehidupan dan ekosistem yang menjadi dasar keberlanjutan umat manusia. Sistem pendanaan iklim global harus direformasi, karena ini bukan bagi-bagi “bantuan” tapi kembalinya hak, kedaulatan, dan kendali ke tangan mereka yang paling terdampak.

Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal tidak bisa menghadapi ini sendirian. Seperti yang ditegaskan oleh kampanye global The Answer Is Us, jawaban atas krisis iklim tidak akan datang dari satu pihak saja. Jawaban itu harusnya lahir dari kita semua, dari komunitas yang menjaga hutan dan laut, dari negara, dari gerakan rakyat yang memperjuangkan hak dan pengakuan, hingga lembaga filantropi, organisasi masyarakat sipil, dan individu yang memilih berdiri untuk keadilan iklim. Hanya dengan berdiri bersama dan menegakkan prinsip keadilan iklim, bumi akan tetap menjadi rumah bagi semua kehidupan.

Scroll to Top