Ekosistem laut sangat vital bagi masyarakat pesisir dan nelayan sebagai sumber pangan, ekonomi, pelindung alami dari abrasi, serta pengendali iklim melalui penyerapan karbon dan produksi oksigen. Namun, ekosistem ini menghadapi tekanan serius seperti eksploitasi berlebihan, reklamasi, limbah industri, pertambangan, ekspansi pariwisata, penebangan mangrove, dan kerusakan terumbu karang. Ancaman terbesar datang dari sampah plastik. Menurut UNEP (2020), 9–14 juta ton plastik masuk ke laut setiap tahun secara global, berpotensi meningkat menjadi 23–37 juta ton pada 2040 dan 155–265 juta ton pada 2060. Di Indonesia, UNEP mencatat 1,29 juta ton plastik berakhir di laut, sementara data Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut pada 2023 mencatat 359.061,02 ton. Kerusakan terumbu karang juga menjadi ancaman serius. Survei RCO (2019) menunjukkan 33,8% dalam kondisi buruk dan hanya 6,4% sangat baik. Sementara itu, BPLH mencatat kehilangan 19.501 hektar hutan mangrove per tahun. Akibat kerusakan ini, nelayan mengalami penurunan tangkapan 30–45%, penurunan kualitas air, serta gangguan kesehatan dan iklim. Di Pulau Pari, masyarakat melaporkan kehilangan daratan hingga 11%, banjir rob yang tak menentu, dan penurunan pendapatan akibat rusaknya habitat laut.
Sama halnya Pulau Pari, masyarakat pesisir dan nelayan yang tinggal di lanskap kawasan pesisir Penyusuk Kecamatan Belinyu yang terdiri dari 4 pulau yaitu Pulau Penyusuk (Pulau Lampu), Pulau Putri, Pulau Sentigi dan Pulau Batu Merlang juga merasakan dampak yang diakibatkan eksploitasi pertambangan seperti keruhnya air laut di sekitar pesisir, sedimentasi pada terumbu karang dan ancaman hilangnya keanekaragaman hayati laut.
Saat persoalan-persoalan tersebut belum teratasi dengan baik, dari pulau-pulau kecil di Indonesia lainnya, lahir inisiatif dari masyarakat pesisir dan nelayan untuk membangun gerakan lingkungan yang fokus terhadap keselamatan ekosistem laut dengan cara sederhana namun sangat berarti dan cukup berdampak terhadap pelestarian dan perlindungan ekosistem laut secara berkelanjutan yang didukung oleh Nusantara Fund.
Nusantara Fund sendiri merupakan suatu inisiatif yang menyalurkan pendanaan langsung yang lahir dari organisasi tiga besar terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yang fokus untuk mendukung berbagai upaya dan inisiatif dari Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal di tingkat tapak seperti petani, nelayan, perempuan, dan kaum muda dalam memperjuangkan hak-hak dan meningkatkan kualitas hidupnya dalam mengelola sumber daya penghidupannya secara berkelanjutan.
Ada enam kelompok Masyarakat Adat, Organisasi Rakyat, dan Komunitas Lokal yang didukung Nusantara Fund untuk menyelamatkan ekosistem laut di Indonesia yaitu Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) yang menginisiasi gerakan pemulihan mangrove dan terumbu karang, transplantasi dan rehabilitasi terumbu karang; Asosiasi Nelayan Tradisional (ANTRA) Sulawesi Utara yang menginisiasi pembentukan pusat belajar masyarakat pesisir; Green Student Movement (GSM) Aceh yang menginisiasi penguatan kapasitas pemuda dalam pelestarian lingkungan; kelompok pemuda yang tergabung dalam Komunitas Pencinta Alam (KOMPALA) Belinyu yang menginisiasi pembangunan akademi ekologi berbasis pusat pengetahuan bahari sebagai upaya penyelamatan dan pemulihan kawasan pesisir di Kecamatan Belinyu Bangka Belitung; dan Kampung Nelayan Tambakrejo Semarang yang menginisiasi perlindungan laut melalui budidaya rumpon kerang hijau; Masyarakat Adat di Aru Selatan, Aru Selatan Utara, Aru Utara, Aru Timur, Kepulauan Aru yang melindungi habitat cendrawasih.
Aksi Nyata Kaum Muda dan Nelayan Muda Menjaga Ekosistem Laut
Pada kampanye Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 yang mengusung tema #BeatPlasticPollution, dunia bersatu untuk mengakhiri krisis pencemaran plastik yang telah merusak ekosistem, mengancam kesehatan manusia, dan memperparah krisis iklim serta hilangnya keanekaragaman hayati. Nusantara Fund mendorong praktik-praktik berkelanjutan skala komunitas yang ramah lingkungan dan berupaya mengurangi dampak sampah plastik berlebih. Seperti yang dilakukan oleh Gerakan Pemuda Peduli Lingkungan, GSM Aceh merupakan gerakan kaum muda yang peduli akan kelestarian lingkungan. Sejak dibentuk pada Oktober 2023, GSM Aceh telah menjadi wadah pembelajaran dan aksi ekologis bagi puluhan pemuda di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Salah satu aksi nyata GSM Aceh adalah Gerakan Peduli Sampah di kawasan wisata seperti di Alue Naga dan Sungai Lamnyong. Dalam kegiatan ini, anggota GSM bersama komunitas lokal membersihkan sampah, mensosialisasikan pentingnya menjaga ekosistem air, dan melakukan pemilahan sampah yang dikumpulkan. Kegiatan ini sekaligus menandai dibentuknya Bank Sampah GSM Aceh sebagai langkah lanjutan untuk pengelolaan sampah, dengan memilah dan mendaur ulang sampah untuk dapat menjadi produk yang bernilai.
GSM Goes to School juga memberikan pemahaman kepada sekolah-sekolah mengenai sampah, termasuk sampah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dan cara mengolah sampah menjadi produk bernilai. GSM melibatkan 105 peserta anak yang belum bersekolah hingga pelajar SMA untuk peduli terhadap kelestarian ekosistem alam.
Inisiatif ini menegaskan bahwa praktik tingkat komunitas yang diinisiasi kelompok pemuda sangat penting dalam menciptakan solusi atas permasalahan lingkungan dengan peluang membuat gerakan semakin luas yang berperan sebagai pendorong dan perubahan dalam masyarakat.
Aksi nyata lainnya datang dari kelompok pemuda yang tergabung dalam KOMPALA Belinyu yang fokus melindungi kawasan pesisir utara Pulau Bangka yang belum mengalami kerusakan lingkungan dari limbah pertambangan timah melalui kegiatan akademi ekologi berbasis pusat pengetahuan bahari. Tujuannya untuk menciptakan ruang edukasi bagi generasi muda sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas dalam memahami, menghargai, dan terlibat langsung dalam upaya pelestarian ekosistem pesisir. Akademi ini juga melibatkan pengajar dari Dinas Perikanan dan juga akademisi dari universitas.
KOMPALA Belinyu juga menetapkan jadwal patroli rutin harian secara berkala untuk memantau aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak ekosistem laut dan pulau-pulau kecil seluas 100 hektar di wilayah perairan utara Bangka. Hal ini dilakukan dengan melibatkan 20 relawan terpilih dari hasil pendidikan ekologi dan bahari, nelayan tradisional dan anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Perlindungan ekosistem laut ini menjadi bagian dari perlindungan karbon biru dan mempertahankan sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir dan nelayan Penyusuk sebanyak 2.326 orang (1158 laki-laki, 1168 perempuan) yang menggantungkan penghidupannya dari sumber daya laut.
Aksi nyata lainnya dari Kampung Nelayan Tambakrejo, komunitas nelayan tradisional di pesisir Semarang mengembangkan budidaya rumpon kerang hijau dan ekowisata pesisir sebagai upaya untuk mempertahankan sumber penghidupannya dan menjaga ekosistem mangrove. Hal ini dilakukan melalui penancapan 2.500 bambu sebagai media rumpon kerang hijau di area seluas 0,14 hektar. Tujuannya untuk meningkatkan sumber penghidupan nelayan sekaligus mendukung kelestarian ekosistem laut, karena setiap bambu rumpon menjadi tempat berkumpul dan berkembang biak bagi ikan serta biota laut lainnya. Rumpon dapat dipanen dua kali setahun. Koperasi Nusantara yang juga dibentuk oleh komunitas tersebut sengaja membatasi panen agar kualitas kerang hijau tetap terjaga. Rumpon merupakan solusi dari tradisi yang menggabungkan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya laut. Dengan pendekatan yang ramah lingkungan, rumpon tidak hanya meningkatkan hasil tangkapan nelayan tetapi juga berkontribusi pada pelestarian ekosistem laut dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Perempuan Pesisir Penjaga dan Pelindung Laut
Bagi perempuan nelayan yang menjadikan hasil laut sebagai sumber penghidupan utama, kerusakan ekosistem laut membawa dampak yang berlapis. Terutama dalam hal pendapatan ekonomi keluarga nelayan. Sehingga perempuan nelayan yang tergabung dalam FPPP menginisiasi lahirnya gerakan perlindungan dan pelestarian ekosistem laut melalui pembangunan rumah pemulihan mangrove dan terumbu karang yang bertujuan sebagai rumah pendidikan rehabilitasi dan tempat penyimpanan bibit mangrove bagi nelayan.
Lebih lanjut, kelompok perempuan yang beranggotakan 60 orang berperan aktif dalam dalam mendorong kegiatan wisata berbasis lingkungan melalui wisata penanaman mangrove. Para wisatawan dapat menanam mangrove di Pulau Pari, dibanderol Rp5.000 per pohon. Selain itu anggota serikat nelayan Pulau Pari dengan melibatkan 12 orang tim teknis melaksanakan rehabilitasi terumbu karang dengan menggunakan 50 modul rak penopang terumbu karang berukuran 50 cm x 50 cm dengan jarak per patok 40 cm. Selain itu, mengenai transplantasi terumbu karang di areal seluas 30 meter di dalam air. Secara teori, rata-rata pertumbuhan terumbu karang hanya 3 cm per tahun. Namun, terumbu karang jenis tertentu dapat tumbuh 10 cm per tahun.
Sama halnya dengan perempuan nelayan Pulau Pari, 9 orang perempuan yang tergabung di Serikat Nelayan ANTRA Sulawesi Utara aktif dalam melakukan konservasi laut melalui rehabilitasi terumbu karang seluas 3 hektar dan penanaman mangrove di area seluas 1 hektar di sekitar Desa Kinamang. ANTRA Sulawesi Utara juga membangun struktur kerja pengelolaan pusat belajar serta mengembangkan keterampilan advokasi dan memimpin gerakan perlindungan pesisir di wilayah seluas 102 hektar. Mereka semakin menyadari bahwa untuk melawan perampasan dan perusakan lingkungan di zona tangkap tidak cukup dengan demonstrasi saja. Melakukan pemulihan lingkungan juga bagian dari perlawanan itu sendiri yang jauh berdampak untuk kepentingan masyarakat di pesisir Sulawesi Utara.
Perlindungan Pesisir Pulau-Pulau Kecil dan Cendrawasih
Di Kepulauan Aru, Maluku, yang terletak di wilayah Timur Indonesia dan dikenal sebagai daerah pesisir yang kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam, Masyarakat Adat Rebi, Lutur, Ferin Botam, Ngai Guli, dan Siya melakukan pemetaan wilayah adat mereka. Pemetaan ini bertujuan untuk memperoleh pengakuan resmi atas Wilayah Adat Nata Fanua Wahangulangula yang memiliki luas mencapai 51 ribu hektar, mencakup kawasan pesisir dan hutan yang menjadi bagian penting dari ekosistem lokal. Hal ini penting karena Masyarakat Adat mengalami konflik lahan dengan perusahaan sektor kehutanan.
Selain melakukan pemetaan, Masyarakat Adat juga aktif merehabilitasi dan merestorasi Hutan Adat “Djamona Raa” yang memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem pesisir. Hutan ini tidak hanya menjadi habitat bagi burung cendrawasih di luar Papua, tetapi juga mendukung berbagai fungsi ekologis penting seperti penyerapan karbon, perlindungan terhadap abrasi pantai, dan habitat bagi berbagai spesies laut dan darat yang hidup di wilayah pesisir.
Peran hutan adat di pesisir pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Aru sangat vital dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan dinamika laut yang terus berubah. Hutan pesisir ini membantu mengurangi dampak gelombang tinggi dan naiknya permukaan air laut dengan menahan abrasi serta menjaga stabilitas garis pantai. Selain itu, pohon-pohon yang ditanam seperti cengkih, pala, dan pohon buah-buahan membantu menjaga kesuburan tanah dan meningkatkan keanekaragaman hayati, sekaligus berperan dalam menyerap karbon yang berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim. Melalui kegiatan ini, Masyarakat Adat tidak hanya menjaga warisan budaya mereka, tetapi juga memperkuat perlindungan terhadap ekosistem pesisir yang rentan terhadap berbagai tekanan lingkungan, termasuk perubahan iklim dan kerusakan laut. Upaya mereka menjadi contoh penting dalam pelestarian wilayah pesisir yang mendukung keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.