Lokasi Lubuk Larangan di Desa Nanga Danau – Kab. Kapuas Hulu
Syahdan, pada tahun 2600-2350 SM di wilayah Sumeria, terjadi konflik berkepanjangan yang melibatkan dua negara-kota: Lagash dan Umma. Motif di balik konflik yang berjalan ratusan tahun itu ialah perebutan air Sungai Tigris. Curah hujan yang terlampau sedikit membuat kedua negara-kota bertetangga itu sangat bergantung pada Sungai Tigris untuk mengairi lahan pertanian mereka. Ketika Raja Lagash menghancurkan kanal di perbatasan lalu mengalihkan ke wilayahnya, tindakan itu menyebabkan Umma kehilangan akses air bersih. Itulah penyebab konflik militer antar kedua negara-kota tersebut, hingga berubah menjadi perang berkepanjangan, dan tercatat sebagai perang pertama dalam sejarah tentang perebutan sumber mata air.
Air telah menjadi kebutuhan penting bagi kehidupan manusia. Dalam sejarah, peradaban manusia sering kali dibangun berdekatan dengan sungai, seperti Peradaban Mesopotamia dan Peradaban Sungai Yangtze. Pada beberapa kasus, air juga digunakan sebagai senjata dalam perang, misalnya pada 225 SM pasukan Dinasti Qin membelokkan aliran Sungai Kuning untuk membanjiri wilayah Daliang dan menewaskan 100 ribu orang. Kasus kontemporer, India membatasi pasokan aliran Sungai Indus ke Pakistan sebagai tanggapan atas serangan di Kashmir. Contoh itu hanya sebagian kisah konfrontasi dalam perebutan akses air di dunia. Ketegangan tersebut akan semakin menguat seiring dengan perubahan iklim dan pertumbuhan populasi manusia yang memicu persaingan. Sebuah penelitian di Jurnal Nature Climate Change pada Mei 2024 dari Utrecht University memperkirakan bahwa 56-66% populasi global akan menghadapi kelangkaan air bersih setidaknya satu bulan per tahun pada akhir abad ini dan yang terdampak terbesar berada di negara-negara berkembang. Bagi perempuan negara dunia ketiga, krisis air berarti harus berjalan lebih jauh untuk mencari sumber mata air. Bagi buruh tani, kondisi itu semakin mencekik kebutuhan keluarga; bibit tanaman yang terlanjur ditanam berujung gagal panen dan semakin memiskinkan mereka. Bagi bayi dari keluarga si miskin, itu berarti dehidrasi dan kematian.
Dalam Water Wars: Privatization, Pollution and Profit, Vandana Shiva menulis hak atas air merupakan hak alamiah. Hak air sebagai hak alamiah tidak berasal dari negara, melainkan berkembang dari konteks ekologis atas keberadaan manusia, dari sifat manusia, kondisi historis, kebutuhan dasar, dan gagasan tentang keadilan. Sebagai hak alamiah, hak atas air sebatas hak guna. Air boleh dipakai tapi tidak untuk dimiliki. Dalam banyak Masyarakat Adat, ada larangan untuk menguasai sumber mata air, seperti sungai, danau, air terjun, oleh kepemilikan pribadi. Itu berbeda dengan sistem di negara modern yang memperbolehkan privatisasi atas air untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas perniagaan. Dalam perspektif pasar, air dipandang sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Shiva juga menunjukkan bukti pengelolaan yang adil dan berkelanjutan oleh komunitas. Swakelola komunitas menempatkan air sebagai milik bersama karena air merupakan kebutuhan dasar bagi semua kehidupan dan karena sifat air berkelanjutan alokasi yang berkeadilan bergantung pada kerja sama antar masyarakat. Meskipun Shiva telah menunjukkan swakelola komunitas atas air sebagai milik atau properti bersama hingga saat ini, di sisi lain privatisasi sumber daya air juga menemukan momentum kebangkitan. Shiva mengangkat teori John Locke sebagai bukti tumbuhnya pengakuan hak individu atas alam pada abad ke-17. Dalam Second Treatise of Government, Locke berpendapat bahwa individu mempunyai hak alam sebagai properti yang berakar pada konsep kepemilikan pribadi dan tenaga kerja. Dengan begitu teori tersebut membenarkan hak milik pribadi dalam kerangka hukum alam, yang meliputi kepemilikan atas tanah, hutan, dan sungai. Tentu, keberadaan teori dan praktik yang menonjolkan hak milik pribadi itu semakin mengikis hak kolektif serta merusak alam.
Lebih lanjut, Shiva menunjukkan bahwa dalam kondisi kelangkaan, sistem pengelolaan air yang berkelanjutan berkembang dari gagasan air sebagai milik bersama yang diwariskan turun-temurun. Dalam sistem itu, tiap-tiap individu dalam komunitas memiliki investasi utama berbentuk tenaga kerja untuk konservasi dan pembangunan masyarakat. Yang lebih utama, bahkan dalam ketiadaan modal, masyarakat memiliki keyakinan kolektif bahwa kehadiran mereka tidak hanya untuk memanfaatkan air saja melainkan juga bertanggung jawab untuk melindungi dan melestarikan sumber mata air.
Lantaran terbukti berkelanjutan dan adil dalam proses pendistribusian, Shiva mendorong pelaksanaan konsep demokratisasi air dalam bentuk swakelola komunitas. Baginya, swakelola komunitas atas sumber daya air justru mengalami kemunduran ketika kendali diambil alih oleh negara. Kepemilikan masyarakat semakin terkikis saat peralatan canggih didatangkan untuk proyek-proyek berskala besar yang akhirnya membuat masyarakat bergantung pada modal. Hak air kolektif dirusak oleh negara dengan meniadakan keterlibatan masyarakat di dalamnya. Pendapatan dari pengelolaan itu juga tidak diinvestasikan kembali ke pembangunan infrastruktur lokal, melainkan dialihkan ke kas negara untuk proyek-proyek nasional. Kendali birokrasi dan pasar yang digerakkan oleh kepentingan komersial justru jauh dari konservasi dan menciptakan kesenjangan di tingkat tapak. Dari praktik tersebut, sangat mungkin orang kaya bisa dengan bebas membuang-buang air sementara rakyat miskin harus menanggung akibatnya. Dengan demikian, bagi Shiva, hak-hak rakyat menjadi keharusan dalam demokrasi yang menuntut pertanggungjawaban negara dan kepentingan komersial untuk mempertahankan hak-hak air kolektif dalam bentuk demokrasi yang terdesentralisasi.
Proses Pembuatan Kompos
Melawan Monokultur Eukaliptus
Di Tapanuli Utara, Sumatera Utara, ada dua Komunitas Masyarakat Adat yang didanai langsung oleh Nusantara Fund: Komunitas Adat Sitonong dan Masyarakat Adat Ompu Bolus Simanjuntak. Keduanya menghadapi masalah yang sama sehingga inisiatif yang diajukan pun sama, yaitu penanaman tanaman berkayu untuk pemulihan lahan sekaligus sumber mata air.
Problem yang dihadapi kedua komunitas tersebut ialah keberadaan perkebunan eukaliptus berskala besar untuk produksi kertas. Luas lahan hutan yang termasuk dalam perkebunan itu ialah 167.912 hektar. Di dalam wilayah tersebut termasuk hutan lindung dan wilayah adat kedua komunitas bersangkutan. Kehadiran industri kertas dan perkebunan monokultur eukaliptus tersebut tidak saja menghalangi Masyarakat Adat untuk mengakses wilayah adat mereka, tetapi juga memiliki dampak buruk bagi kelestarian alam dan sumber air di sana.

Publikasi pada Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry (Juni 2019) menjelaskan tentang dampak buruk bagi alam di balik penanaman eukaliptus yang terkenal mampu tumbuh cepat dan memenuhi kebutuhan industri itu. Dampak buruk pertama, eukaliptus terkenal dengan sifat alelopati yang menghambat pertumbuhan tanaman di sekitarnya. Kedua, eukaliptus juga dikenal mampu beradaptasi terhadap air. Dalam situasi stres, akar eukaliptus mampu tumbuh 6-9 meter dan menyerap lebih banyak air. Riset itu juga menunjukkan bahwa sumur bor yang digali dengan jarak 1 km dari perkebunan eukaliptus seluas 2 hektar tercatat adanya penurunan debit air sebesar 35-42% dari debit awal. Ketiga, eukaliptus juga memiliki dampak negatif atas kesuburan tanah. Dengan melemahnya aktivitas mikroba tanah, tentu itu juga mempengaruhi pertumbuhan dan kesehatan tanaman lain yang ditanam berdekatan dengan perkebunan eukaliptus.
Masyarakat telah merasakan dampak nyata dari keberadaan perkebunan eukaliptus. Beberapa tahun belakangan, wilayah Tapanuli Utara dirundung banjir bandang. Salah satu penyebab yang dapat dilihat ialah aktivitas deforestasi untuk penanaman eukaliptus. Bagi Masyarakat Adat yang menggantungkan penghidupan dari menderes kemenyan harus menghadapi penurunan jumlah dan kualitas getah kemenyan. Kualitas air di Sungai Aek Nalas juga mulai keruh. Padahal, masyarakat telah mengonsumsi air sungai itu sebagai air minum sejak dahulu. Kekeringan juga melanda sawah-sawah pertanian masyarakat.
Demi menyelesaikan permasalahan ekologis yang timbul akibat perkebunan eukaliptus tersebut, baik Komunitas Adat Sitonong dan Masyarakat Adat Ompu Bolus Simanjuntak memilih inisiatif penanaman beragam tanaman berkayu yang dinilai mampu mengembalikan kesuburan tanah sekaligus sumber daya air. Komunitas Adat Sitonong menanam 350 bibit tanaman andaliman, 500 bibit pohon aren, 2.500 bibit kopi, dan 10 batang pohon kemiri pada lahan seluas 8 hektar. Awalnya mereka merencanakan untuk menanam 4 ribu bibit tanaman, tetapi dalam perawatan banyak bibit yang mati. Untuk mencapai lokasi rehabilitasi, Komunitas Adat Sitonong harus menempuh perjalanan kira-kira 2 jam dari permukiman. Masyarakat Adat Ompu Bolus Simanjuntak melakukan penanaman 17 ribu bibit tanaman pada lahan seluas 20 hektar. Bibit yang ditanam beragam, meliputi kopi, cengkih, kayu manis, jengkol, dan sirsak. Selain tanaman berkayu, mereka juga memperoleh 300 kg bibit padi darat dan 4,5 kg bibit kacang merah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Selain untuk rehabilitasi lahan, inisiatif penanaman juga memberikan nafas panjang bagi perjuangan mereka yang tertindas atas keberadaan industri monokultur eukaliptus di Tapanuli Utara. Inisiatif itu juga menjaga api semangat kolektif guna melestarikan warisan nenek moyang mereka dan menurunkannya ke generasi mendatang.
Penanaman Mangrove – Pulau Pari
Menjaga Air Pesisir
Dalam kerangka konservasi air, ekosistem hutan mangrove menempati posisi vital bagi wilayah pesisir. Daun-daun mangrove berkontribusi pada pengaturan siklus air melalui proses evapotranspirasi. Air laut yang diserap oleh akar kemudian dilepaskan kembali melalui daun sehingga menciptakan awan dan curah hujan. Akar mangrove membantu menyaring polutan dan nutrien berlebih dari aliran air. Selain itu, akar mangrove juga berperan sebagai penghalang alami yang mencegah masuknya air laut ke dalam lapisan air tanah. Proses itu menjaga kualitas air pesisir dan menjamin ketersediaan air tawar di wilayah pesisir.
Terkait inisiatif konservasi air di wilayah pesisir, terdapat dua komunitas yang didanai oleh Nusantara Fund. Komunitas pertama ialah Forum Peduli Pulau Pari (FPPP) di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Salah satu inisiatif yang diajukan oleh FPPP ialah membangun rumah pembibitan mangrove. Kelompok perempuan FPPP secara langsung menangani pengelolaan rumah pembibitan tersebut, mulai dari rencana kegiatan yang ingin dilaksanakan sampai strategi penanaman mangrove. Kelompok perempuan FPPP juga mempromosikan penanaman bibit tanaman mangrove kepada para wisatawan yang datang berkunjung. Dengan begitu, wisatawan tidak hanya datang sebagai penikmat keindahan alam, tapi juga ikut terlibat dalam aktivitas pelestarian.

Pulau Pari sendiri sejak bertahun-tahun harus berhadapan dengan masalah ekologis akibat aktivitas ekstraktif industrial. Dampaknya, sejak tahun 2020 masyarakat Pulau Pari harus sering merasakan banjir rob dadakan yang sering datang pada malam hari. Reklamasi untuk pembangunan resort-resort wisata telah merusak terumbu karang, padang lamun, dan mangrove di pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Onggokan sampah plastik dari perilaku konsumtif berlebihan juga melanda gugusan pulau itu. Sumber mata air tawar di Pulau Pari pun tercemar akibat proses intrusi air laut. Belum lagi soal ancaman penggusuran dan pengusiran masyarakat Pulau Pari untuk proyek pembangunan pariwisata. Bahkan, pada awal 2025 FPPP harus berhadapan dengan perusahaan yang berkepentingan dengan bisnis pariwisata di area itu. Bibit-bibit mangrove yang ditanam oleh FPPP dirusak. Saat ini mereka berupaya meminta pertanggungjawaban perusahaan tersebut untuk menanam kembali bibit mangrove yang dirusak itu.
Komunitas kedua, masyarakat Desa Sungai Cemara di Tanjung Jabung Timur, Jambi, juga merasakan dampak yang sama dari perubahan iklim. Sejak 2013-2015, naiknya permukaan laut telah mengakibatkan abrasi pada ekosistem mangrove di wilayah pesisir timur Jambi. Untuk menghindari abrasi akibat hilangnya ekosistem hutan mangrove, masyarakat Desa Sungai Cemara terpaksa berpindah lebih ke daratan dan mendekati wilayah Taman Nasional Berbak Sembilang (TNBS). Pilihan itu tentu mengancam kelestarian TNBS, tetapi masyarakat juga tidak punya pilihan lain dan pemerintah setempat belum memberikan respons baik atas permasalahan itu.
Untuk mengatasi kerusakan wilayah mangrove tersebut, masyarakat Desa Sungai Cemara mengupayakan pelestarian mangrove melalui program pemetaan, pembangunan rumah pembibitan, dan penanaman. Kegiatan pemetaan memberikan gambaran kepada masyarakat terkait luasan dan kondisi hutan mangrove di wilayah mereka. Selain itu, dengan pemetaan partisipatif, masyarakat juga mampu memutus ketergantungan pihak luar terkait pengetahuan dan keterampilan dalam pemetaan ruang hidup. Dari kegiatan pemetaan partisipatif, terdapat 10 kader dari masyarakat yang mampu memetakan wilayah ekosistem mangrove kritis secara mandiri. Kedua, rumah pembibitan yang dibangun oleh masyarakat memiliki kapasitas yang mampu menampung hingga 5 ribu bibit. Hingga laporan mereka diterima oleh Nusantara Fund, masyarakat Desa Sungai Cemara telah menanam sebanyak 2 ribu bibit mangrove di pesisir timur Jambi. Mereka juga melakukan pemantauan dan perawatan pada bibit-bibit yang ditanam untuk memastikan bibit-bibit itu tumbuh subur.