TOTAL DANA 2025 - 2027

$500,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA AGUSTUS 2023 - JULI 2024

$250,000

Institutional Support

TOTAL DANA OKTOBER 2024 - SEPTEMBER 2029

$5,000,000

General Support

TOTAL DUKUNGAN DANA $800,000

Agustus 2023 - September 2024 ( $300,000 )
Februari 2025 - Juli 2026 ( $500,000 )

Pendanaan Langsung ( Re-Granting )

TOTAL DUKUNGAN DANA 2023 - 2027

$1,050,000

Re-Granting - General Support

TOTAL DANA 2024 - 2026

$2,500,000

Re-Granting - Endowment

DARI KRISIS KE SOLUSI: MERETAS JALAN DEMOKRATISASI AIR LOKAL (Bagian II)

Aliran sisa operasional geothermal PLTP Kamojang

Alienasi Dari Sumber Air

Hampir di banyak proyek pemerintah dan swasta pada akhirnya mengasingkan masyarakat dari sumber daya alam maupun wilayah proyek tersebut. Demi alasan keamanan area proyek, masyarakat akan dihalau oleh pengelola untuk tidak memasuki wilayah tersebut, kecuali membayar atau menjadi pekerja di sana.

Demikian juga dengan Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) Mulyatani I Desa Ibun, Jawa Barat, yang harus meminta izin penjaga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang setiap kali pergi ke kebun mereka. Jarak dari pintu masuk proyek geothermal Kamojang dengan kebun mereka kira-kira 2-3 km. Kebun kopi mereka memang berada di dalam area PLTP Kamojang. Lahan kebun itu merupakan lahan Perum Perhutani yang telah mereka kelola sejak tahun 2000an meski tanpa seizin Perhutani. Bahkan pada tahun 2005, Perhutani menutup akses masuk dan melarang masyarakat menanam di area itu. Barulah pada 2017, setelah KPS Mulyatani I Desa Ibun resmi terbentuk dan telah memperoleh surat keputusan (SK), para petani bisa mengaksesnya kembali.

Pemasangan pipa pengairan oleh KPS Mulyatani I Desa Ibun

Padahal, sebelum dikelola masyarakat, lahan itu dibiarkan terbengkalai oleh Perhutani. Hanya ada ilalang dan pohon pinus di area itu. Tanah di area itu gersang dan sering kebakaran. Pohon-pohon kopi yang ditanam para anggota KPS Mulyatani I Desa Ibun itulah yang membuat tanah di situ kembali asri.

Sementara itu, keberadaan PLTP Kamojang juga bukan tanpa masalah. Saat diwawancarai oleh Staf Nusantara Fund, para anggota KPS Mulyatani I Desa Ibun memang tak ada yang mempermasalahkan atau merasa terganggu terhadap operasional proyek geothermal. Namun, mereka berkata bahwa wilayah itu mengalami kekeringan saat kemarau. Kebun para petani, baik kopi maupun sayuran, tidak mendapat jatah pengairan yang cukup. Artinya, sumber air tetap ada untuk operasional geothermal, seperti proses penambangan panas bumi maupun untuk mendinginkan mesin, tapi tidak untuk kebutuhan masyarakat. Pernah juga ada kasus keracunan saat pipa gas geothermal bocor. Sayangnya, kami tidak menemukan publikasi berita terkait kasus tersebut, baik di media lokal maupun nasional. Ditambah lagi, tidak satu pun anggota KPS Mulyatani I Desa Ibun memperoleh akses listrik gratis dari PLTP Kamojang. Mereka tetap harus membayar ke PLN untuk bisa merasakan manfaat listrik yang diambil dari sumber daya alam di wilayah mereka.

Dalam penelitian kolaborasi Celios dan WALHI (2024) menyebutkan beberapa dampak ekologis dari operasional pembangkit listrik geothermal. Pertama, proses penambangan panas bumi memicu terjadinya gempa bumi minor. Dampak kedua ialah terjadinya pelesakan tanah dan perubahan relief bumi. Itu yang pernah terjadi di Dieng (Jawa Tengah) dan Mataloko (Nusa Tenggara Timur) setelah terjadinya aktivitas seismik dari operasional PLTP. Kerusakan sistem akuatik yang meliputi pencemaran air, kerusakan tanah, dan penurunan produktivitas tanaman pertanian merupakan dampak lainnya.

Nusantara Fund memberikan pendanaan kepada KPS Mulyatani I Desa Ibun untuk mengatasi permasalahan pengairan ke lahan kebun. Upaya mereka ialah dengan cara memanfaatkan air bekas pengolahan geothermal PLTP Kamojang. Mesin pompa hidram menyedot air bekas proses geothermal, kemudian dialirkan melalui pipa sepanjang 2,5 km untuk mengairi kebun masyarakat seluas 35 hektar.

Persoalan alienasi dari sumber air juga dialami oleh mitra Nusantara Fund di Desa Adat Pedawa, Bali. Kesuksesan industri pariwisata di Pulau Dewata secara nyata telah menciptakan dampak sosioekologis, seperti alih fungsi lahan hutan dan pertanian untuk pembangunan infrastruktur wisata, kepadatan penduduk, kemacetan transportasi, pencemaran lingkungan, dan yang terpenting krisis air bersih. Fenomena kelangkaan air yang telah menjadi problem menahun di pulau itu disebabkan oleh penggunaan sumber daya air yang terlalu boros. Banyak hotel dan vila maupun tempat hiburan lainnya mengakses air tanah dengan cara membuat sumur bor karena lebih murah dibanding membeli air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dalam banyak pemberitaan, dampak krisis air bersih telah dirasakan oleh masyarakat Bali. Air PDAM bahkan tidak mampu menjadi solusi, kadang-kadang mati dan airnya keruh. Sistem irigasi khas Bali, Subak, yang diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia (WBD) pun terancam menyusut. Sungguh, kondisi tragis di tengah komunitas masyarakat yang meyakini air sebagai sesuatu yang sakral.

Itulah yang menggerakkan Masyarakat Adat Pedawa untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selain membangun sistem pendidikan adat (pasraman) untuk menjaga tradisi leluhur, Masyarakat Adat Pedawa juga melakukan inisiatif penanaman pohon aren dan tanaman penjaga sumber air. Sebanyak 100 bibit pohon aren dan 50 tanaman penjaga air dan lahan kritis ditanam di beberapa titik sumber air. Mereka melibatkan seluruh masyarakat lantaran lahan tempat sumber air berada kebanyakan merupakan lahan pribadi.

Rumah turbin PLTMH Kali Maron, Seloliman

Distribusi Berkelanjutan

Belantara hutan Kalimantan sejak lama terancam keasriannya dari pembangunan, pertambangan, food estate, dan perkebunan monokultur. Bencana-bencana yang mulai bermunculan di wilayah itu merupakan akumulasi pembabatan hutan yang dilakukan berpuluh tahun lamanya. Bayangkan, hutan Kalimantan pada tahun 1950 memiliki luas 51,4 juta hektar hingga tahun 2022 tersisa 31,1 juta hektar. Dalam laporan Auriga Nusantara, Status Deforestasi Indonesia 2024, mengabarkan Pulau Kalimantan sebagai pulau teratas yang menjadi korban deforestasi dengan luas lahan hutan yang hilang mencapai 129.896 hektar dan Kalimantan Timur sebagai provinsi teratas dengan luas deforestasi 44.483 hektar.

Acara pengesahan Lubuk Larangan oleh Masyarakat Adat Dayak Kalis Nanga Danau Ketemenggungan

Bila mayoritas narasi di Kalimantan didominasi oleh proyek-proyek yang berujung pada eksploitasi alam, Masyarakat Adat Suku Dayak Kalis Nanga Danau Ketemenggungan memilih jalan pelestarian alam. Mereka menegakkan kembali aturan adat tentang Ulak Pamali atau Lubuk Larangan yang melindungi ekosistem hutan, tanah, dan sungai seluas 3,68 hektar. Penanggung Jawab Program, Teddy Winardi, menerangkan bahwa Masyarakat Adat Kalis Nanga Danau meyakini sungai sebagai tempat tinggal makhluk spiritual yang disebut Gana dan tidak boleh diganggu oleh aktivitas-aktivitas yang merusak sungai, seperti pertambangan, pengambilan batu dan pasir berlebihan, dan lain sebagainya. Dalam Lubuk Larangan, masyarakat sekitar dilarang mengambil ikan dan sumber daya lain yang ada di situ selama kurun waktu 3 tahun. Dengan penetapan wilayah sebagai Lubuk Larangan, jenis ikan langka seperti kaloi (gurami), ikan batu (patin), tengadak, palau, kebali, tebelian (belida), dekat (dalum), kenjuar, semah, paset, kamunsi, talintingan, dan tamujuk yang hampir punah akan memiliki cukup waktu untuk berkembang biak. Masyarakat Adat Kalis Nanga Danau sepenuhnya sadar bahwa konsumsi berlebihan tanpa dibarengi niatan merawat alam justru akan menghilangkan sumber daya alam yang mereka butuhkan.

Dengan adanya Lubuk Larangan, masyarakat sekitar area tersebut kini jauh lebih menyadari terkait pentingnya melindungi alam. Beberapa Komunitas Masyarakat Adat di sekitar kabarnya juga berminat mengikuti cara tersebut dengan menegakkan kembali aturan Lubuk Larangan di wilayah adat masing-masing.

Pemanfaatan dan distribusi yang berkelanjutan juga terjadi di Kampung Janjing, Desa Seloliman, Mojokerto, Jawa Timur. Kisah bermula ketika Kampung Janjing menjadi satu-satunya dusun di Desa Seloliman yang tidak memperoleh akses listrik PLN pada 1992. Alasannya ialah karena penduduk Kampung Janjing terlalu sedikit dan jaraknya terlampau jauh. Otomatis, tiap malam kondisi kampung gelap gulita, hanya ada pencahayaan dari lampu minyak. Kondisi berubah pada tahun 1993, saat Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman dengan bantuan pendanaan Kedutaan Jerman membangun pembangkit listrik tenaga micro hidro (PLTMH) untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Kampung Janjing. Namun, keterlibatan masyarakat Kampung Janjing saat itu masih pasif, hanya sebagai penikmat listrik yang memberikan kontribusi Rp1.000-Rp2.000 per bulan. Hingga akhirnya tahun 2000, PPLH mengajak masyarakat Kampung Janjing untuk bersama-sama mengelola PLTMH dan itu pula yang mendasari pembentukan Paguyuban PLTMH Kali Maron. Perubahan pengelolaan juga diikuti oleh keputusan untuk meningkatkan kapasitas listrik yang bisa dihasilkan, dari 12 kWh menjadi 25 kWh.

Untuk memastikan supaya listrik tetap mengalir di rumah-rumah Dusun Janjing, masyarakat rutin menanam pohon trembesi. Penanaman bibit trembesi itu dilakukan di hutan dekat desa mereka. Aktivitas penanaman pohon dilakukan untuk mengamankan sumber air yang sangat dibutuhkan untuk menggerakkan turbin dan memproduksi listrik.

“Dalam hal mikro hidro, tidak kalah pentingnya adalah masyarakat selalu menjaga keberadaan sumber daya alamnya. Karena circle-nya adalah hutan, air, dan listrik. Maka keberadaan hutan ini sangat penting. Oleh karena itu secara rutin mereka melakukan penanaman,” kata Direktur PPLH Seloliman, Suroso.

Bantuan pendanaan Nusantara Fund kepada PLTMH Kali Maron dimaksudkan untuk meremajakan mesin yang sudah menua dan telah beroperasi lebih dari dua dekade. Paguyuban Kalimaron pun memanfaatkan pendanaan untuk memperbaiki kelembagaan dengan cara melibatkan stakeholder air guna mencegah ancaman dan konflik atas air di sepanjang aliran Kali Maron. Pencegahan konflik dengan berunding dilakukan karena para petani di hilir mencurigai Paguyuban Kali Maron mengambil air sungai untuk PLTMH pada musim kemarau yang menyebabkan debit sungai menyusut. Padahal, operasional PLTMH hanya memanfaatkan aliran air sungai tanpa perlu membendungnya seperti pada pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Selain itu, dana juga dimanfaatkan untuk merenovasi rumah turbin. Dengan begitu, PLTMH dapat terus beroperasi demi memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Kampung Janjing.

Komunitas ketiga yang menunjukkan distribusi air berkelanjutan di akar rumput ialah Komunitas Merangkul Bumi (Kombi). Berlokasi di Desa Jepitu, Gunung Kidul, Yogyakarta, Kombi telah mengupayakan distribusi air untuk pertanian masyarakat sejak didirikan pada tahun 2007. Kondisi geologis di Gunung Kidul didominasi oleh bentang alam karst dan mayoritas wilayahnya terdiri dari batuan gamping. Air hujan lebih cepat hilang masuk ke dalam aliran sungai bawah tanah sehingga sulit untuk menemukan sumber air permukaan. Kondisi itu juga mempengaruhi kesuburan lahan; tanah cenderung kurang subur dan kering. Pertanian masyarakat lebih banyak berbentuk ladang dengan tanaman singkong, jagung, dan tanaman berkayu seperti jati.

Area Lubuk Larangan

Kombi mengeksplorasi Gua Pulejajar untuk memenuhi kebutuhan lahan pertanian masyarakat terhadap air. Ada dua peristiwa yang paling mengena dan mengubah hidup masyarakat Desa Jepitu secara drastis, yaitu Gugur Gunung tahun 2015 dan 2019. Setelah sekian tahun mengeksplorasi gua-gua di wilayah itu, Kombi akhirnya menemukan titik sumber air yang melimpah berada di Gua Pulejajar.

“Kenapa Kombi berkegiatan di [Gua] Pulejajar, ya karena masyarakat butuh air.” Terang Koordinator Kombi, Rubiyanto. “Sumber air yang bisa dimanfaatkan dan memiliki potensi agak besar, ya hanya di Gua Pulejajar itu. Di gua lain sekitaran ini gak ada.”

Perjuangan Kombi atas swakelola sumber air untuk masyarakat bukan tanpa tantangan. Mereka pernah dicap sebagai “orang gila” oleh masyarakat sekitar karena berpetualang mencari air selama bertahun-tahun. Namun, mereka berhasil membalikkan tanggapan itu dengan penemuan sumber air di Gua Pulejajar. Mereka bahkan memutuskan untuk membeli lahan di mulut dan sekitar gua dengan harga ratusan juta rupiah guna mengamankan status tanah lokasi pompa dan tangki air. Fenomena politik yang khas di Yogyakarta terkait kasus-kasus sengketa lahan mendorong mereka memilih langkah itu. Kombi juga pernah didatangi pihak PDAM daerah dan pihak resort terdekat yang meminta pengelolaan sumber air dialihkan atau sekadar bertanya lokasi titik air. Namun, mereka sadar, seumpama pengelolaan maupun informasi sumber air diserahkan ke pihak lain, bisa jadi hasilnya tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Terkait pendanaan, Kombi menerimanya dari berbagai sumber, antara lain patungan antaranggota, sumbangan pendanaan perorangan, kelompok swasta seperti LSM, maupun lembaga pemerintahan. Dari pendanaan itulah, Kombi bisa mengupayakan pemasangan pipa untuk distribusi air ke pertanian masyarakat seluas 200 hektar. Bantuan pendanaan Nusantara Fund kepada Kombi lebih ditujukan untuk pelatihan pemetaan partisipatif dan pembuatan peta jalur pipa. Dengan peta itu, Kombi bisa melihat sawah siapa saja atau area mana saja yang belum memperoleh akses air. Kombi mengupayakan alokasi air ke ladang masyarakat dilakukan secara adil dan merata.

Pada kunjungan terakhir Nusantara Fund ke Desa Jepitu, masih ada beberapa tantangan yang harus mereka selesaikan. Sebagaimana jamaknya komunitas di pedesaan, Kombi juga mengalami krisis regenerasi. Dari anggota semula berjumlah 20 orang, kini tersisa 7 orang saja yang masih aktif dalam kerja-kerja kolektif Kombi. Generasi muda di desa itu pun belum tampak ada yang bersedia bergabung dalam gotong royong itu. Usia para anggota yang sudah tidak lagi muda dan nasib komunitas ke depannya, mendorong mereka menyusun rencana-rencana masa depan yang memastikan keberlanjutan inisiatif baik tersebut.

“Pengelolaan air di Pulejajar selama ini memang belum pernah membicarakan uang. Akan tetapi ketika proses distribusi ini menggunakan listrik untuk menggerakkan pompa, otomatis harus ada transaksi keuangan. Ini yang mendorong Kombi harus membentuk organisasi sendiri untuk pengelolaan. Intinya sebagai payung hukum distribusi di Pulejajar,” Jelas Rubiyanto.

“Takutnya kalau tidak ada payung hukum, nanti disalahkan oleh pemerintah dan seterusnya. Apalagi kami sudah tua dan yang muda yang meneruskan, kemudian ada persoalan kan bermasalah. Entah dibikin koperasi atau apa. Nanti, semua masyarakat petani yang memanfaatkan air Pulejajar akan terikat. Jadi bukan hanya teman-teman Kombi saja. Akhirnya, semua bisa bersama-sama. Ketika ada persoalan, dipikirkan bersama-sama. Ketika ada enaknya, artinya air bisa mengalir terus, ya dinikmati bersama-sama.” Tambahnya.

Masyarakat Adat Desa Pedawa menyiapkan bibit pohon aren dan tanaman penjaga mata air lainnya
Jalan Itu Bernama Solidaritas

Bila kita mengamati kisah-kisah swakelola komunitas atas sumber air di daerah-daerah, ada satu hal yang bisa terjawab secara pasti. Bahwa permasalahan kelangkaan air tidak muncul sebagai permasalahan alam. Permasalahan krisis air lebih disebabkan oleh ketidakpedulian, keserakahan yang didorong oleh keinginan mengumpulkan keuntungan pribadi, dan pengabaian. Pun, dengan kerusakan-kerusakan alam di bumi nusantara.

Hal senada juga diutarakan pendamping Kombi dari WALHI Yogyakarta saat menjelaskan peran-peran organisasi untuk advokasi kebutuhan masyarakat. “Krisis air jadi isu krusial di kawasan karst. Karena air sebenarnya banyak di kawasan karst, kalau kita berbicara soal eksistensi airnya. Tapi bicara soal akses, itu yang menjadi isu di kawasan karst.” Jelas Deputi Direktur WALHI Yogyakarta, Dimas Perdana.

Penampungan Air – Kombi

“Kami melihat bahwa potensi kekeringan di sana karena aktivitas ekstraksi. Kemudian, aktivitas pariwisata yang tidak punya pendekatan soal etika lingkungan ini mengancam sumber daya air di sana. Ketika sumber daya air terpengaruh oleh aktivitas ekstraktivisme itu akan mengancam keberlanjutan pengelolaan pertanian yang ada di kawasan karst. Hari ini, isu soal akses air jadi isu krusial yang ada di sana.” Kata Dimas.

Mungkin kisah-kisah swakelola komunitas atas sumber daya air hanya berupa kisah sederhana dari pelosok negeri. Sama sekali tidak ada alur atau intensitas konflik yang membuat bulu kuduk meremang seperti cerita-cerita kepahlawanan dalam perang. Namun, darinya kita belajar akan ketulusan, pengutamaan kebutuhan kolektif ketimbang kepentingan pribadi. Mereka mengatasi krisis air, dan krisis-krisis ekologis lainnya, dengan apa yang kita kenal sebagai solidaritas. Bahwa solidaritas kepada sesama mampu mengangkat kelompok akar rumput keluar dari permasalahan. Solidaritas itu juga yang membangunkan kepedulian manusia untuk merawat alam, sebagai upaya balas jasa atas penyediaan sumber daya dari alam untuk spesies manusia.

DARI KRISIS KE SOLUSI: MERETAS JALAN DEMOKRATISASI AIR LOKAL (Bagian I)

Scroll to Top