
KUMMA RISBE
Program
Budidaya Madu Kelulut/Trigona Kenegerian Terusan Kecamatan kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
Organisasi Pendamping
Lokasi
Pendanaan Langsung
Periode
Mulai
Berakhir
Target
Status
Bagikan ke :
Bertahan di Tengah Batasan: Upaya Masyarakat Adat Kenegerian Terusan Membangun Ekonomi Menjaga Hutan Adat
Eksploitasi sumber daya hutan di Indonesia dimulai pada 1967 dengan diberlakukannya UU Pokok Kehutanan. Negara mengambil alih penguasaan hutan yang sebelumnya dikelola masyarakat adat, membuka jalan obral konsesi. Dalam periode 1967–1980, sebanyak 519 HPH diterbitkan dengan luas mencapai 53 juta hektare. Kebijakan ini menyusutkan wilayah adat dan membatasi akses masyarakat sekitar terhadap sumber daya hutan yang menjadi tumpuan hidup mereka—termasuk di Kenegerian Terusan, Riau.
Kenegerian Terusan adalah salah satu dari enam kenegerian di sepanjang Sungai Subayang, Riau, bersama dengan Batu Songgan, Malako Kociak, Gajah Bertalut, Aur Kuning, dan Pangkalan Serai. Pada 2019, perjuangan panjang mereka untuk pengakuan membuahkan hasil dengan terbitnya Surat Keputusan Bupati Kampar yang mengakui Masyarakat Adat dan Hak Tanah Ulayat Kenegerian Terusan. Namun, pengakuan resmi terhadap hutan adat mereka—termasuk Hutan Adat Imbo Papan (77 hektare), Hutan Adat Bukik Kojan (369 hektare), dan Hutan Adat Imbo Kopuang (321 hektare)—masih tertahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak permohonan diajukan pada 2018 dan 2019.
Sejarah mencatat, sejak abad ke-12 hingga ke-14, masyarakat adat Kenegerian Terusan telah mendiami kawasan hutan adat mereka, yang dahulu merupakan bagian dari Kerajaan Kuntu Darussalam. Pada tahun 2014, wilayah adat Kenegerian Terusan ditetapkan sebagai bagian dari Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling. Penetapan ini semakin membatasi ruang hidup masyarakat adat, menghalangi mereka dari lahan pertanian serta sumber daya alam yang sebelumnya dapat diakses untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Status hutan suaka memang dapat melindungi hutan, tapi apa kabar Masyarakat Adat yang keberlangsungan hidupnya saling bergantung dengan hutan?
Sebelum status hutan suaka diterapkan, masyarakat di Kenegerian Terusan secara mandiri memproduksi bahan pangan, mulai dari padi, umbi-umbian, hingga bumbu dapur di hutan adat mereka. Namun, penetapan status hutan suaka membatasi mereka untuk mengelola lahan, sehingga ketergantungan terhadap bahan pangan dari kota meningkat. Masyarakat yang dulu produktif menjadi lebih konsumtif.
Keterbatasan akses terhadap hutan juga semakin mempersempit pilihan ekonomi masyarakat. Terdesak oleh kebutuhan, banyak warga akhirnya terlibat dalam pembalakan kayu yang menwarkan penghasilan cepat. Meskipun menyadari dampak negatifnya terhadap lingkungan, tidak adanya alternatif ekonomi berkelanjutan membuat aktivitas ini terus berlangsung.
Untuk menjawab tantangan ini, Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) dengan dukungan Pendanaan Langsung Nusantara Fund mengembangkan potensi lokal, madu kelulut (Trigona) dan jahe—dua komoditas bernilai ekonomi tinggi, perawatan relatif mudah, dan tidak membutuhkan pembukaan lahan besar atau eksploitasi hutan.
KUMMA RISBE mendatangkan 20 sarang kelulut siap panen untuk mempercepat hasil dan mempermudah adaptasi pengelolaan sarang oleh masyarakat. Sarang-sarang ini ditempatkan di pekarangan lima kepala keluarga agar mudah dipantau. Perempuan adat turut berperan dalam perawatan dan panen. Panen perdana pada April 2024 menghasilkan 8 kilogram madu murni—dua kali lipat dari target awal sebesar 4 kilogram. Panen berikutnya dijadwalkan pada Agustus 2024, dengan harapan hasil lebih optimal karena kondisi cuaca lebih mendukung.
Di sisi lain, budidaya jahe oleh Perempuan Adat kenegerian Terusan menghadapi tantangan. Curah hujan tinggi menyebabkan banyak bibit membusuk sebelum tumbuh maksimal. Namun, perempuan adat tidak menyerah. Mereka berencana melanjutkan budidaya dengan pendanaan mandiri, belajar dari kegagalan, dan mencari strategi budidaya yang lebih tepat.
Meski belum sepenuhnya meningkatkan perekonomian masyarakat, budidaya kelulut dan jahe memiliki potensi besar sebagai sumber penghasilan alternatif. Melihat keberhasilan perawatan dan nilai jual yang cukup tinggi dari panen perdana 20 sarang kelulut, beberapa warga yang bukan anggota KUMMA RISBE mulai mengembangkan budidaya kelulut secara mandiri dengan mencari sarang alami di hutan. Anggota KUMMA RISBE juga terus aktif menyebarkan berita dan pengetahuan tentang prospek ekonomi madu kelulut kepada masyarakat.
Sejak program ini berjalan, jumlah kepala keluarga yang bergantung pada perambahan hutan mulai berkurang. Ini membuktikan bahwa model ekonomi berbasis komunitas adat bisa menjadi solusi dalam menjaga lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
Meskipun dihadapkan pada berbagai pembatasan akibat kebijakan perlindungan hutan, masyarakat adat di Kenegerian Terusan tetap berusaha mencari solusi yang tidak merusak lingkungan. Mereka mengembangkan sistem ekonomi berbasis sumber daya alam yang berkelanjutan, seperti budidaya kelulut dan jahe, yang tidak membutuhkan pembukaan lahan besar atau eksploitasi hutan. Inisiatif ini menunjukkan bahwa meskipun ruang gerak mereka semakin terbatas, masyarakat adat tetap memiliki komitmen kuat untuk menjaga kelestarian hutan sembari berjibaku membangun sumber ekonomi yang memadai.