PROGRAM
Kelompok Budidaya Madu Kelulut RISBE
ORGANISASI PENDAMPING : |
AMAN
|
LOKASI : |
Kampar, Riau
|
PENDANAAN LANGSUNG |
Rp89.050.000,-
|
PERIODE : |
|
TARGET : |
Ekonomi berkeadilan dan berkelanjutan, selaras dengan prinsip-prinsip Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, Pusat Pendidikan Rakyat
|
AKTIVITAS KUNCI : | |
STATUS : |
Selesai
|
JUDUL PROGRAM : |
Budidaya Madu Kelulut/Trigona Kenegerian Terusan Kecamatan kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
|
KUMMA RISBE: Bangun Ekonomi Berdaulat, Lestarikan Hutan di Kenegerian Terusan
Kenegerian Terusan adalah satu dari enam kenegerian yang ada di antara aliran Sungai Subayang, Riau,. Enam kenegerian tersebut adalah Batu Songgan, Malako Kociak, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Kenegerian Terusan, dan Pangkalan Serai. Masyarakat adat enam kenegerian tersebut telah mendiami wilayah itu sejak masa Kerajaan Kuntu Darussalam pada sekitar abad ke 12-14 Masehi. Wilayah adat enam kenegerian ini masuk ke dalam Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling seluas total 141.226,25 Ha dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014.
Pada tahun 2019, upaya panjang mereka mendapatkan pengakuan berbuah hasil melalui Surat Keputusan Bupati Kampar tentang pengakuan Masyarakat Adat dan Hak Tanah Ulayat Kenegerian Terusan. Namun, untuk pengakuan penuh hutan adat di wilayah mereka – termasuk Hutan Adat Imbo Papan (77 hektare), Hutan Adat Bukik Kojan (369 hektare), dan Hutan Adat Imbo Kopuang (321 hektare) – masyarakat masih terombang-ambing menunggu keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak permohonan diajukan pada tahun 2018 dan 2019.
Penetapan kawasan suaka margasatwa membawa dampak besar bagi kehidupan Masyarakat Adat. Sebelum status diterapkan, masyarakat di Kenegerian Terusan secara mandiri memproduksi bahan pangan, mulai dari padi, umbi-umbian, hingga bumbu dapur. Namun, penetapan status hutan suaka membatasi mereka untuk mengelola lahan, sehingga ketergantungan terhadap bahan pangan dari kota meningkat. Bukan cuma berdampak pada kedaulatan pangan, tetapi juga mempengaruhi pola ekonomi masyarakat yang dulunya produktif menjadi lebih konsumtif. Status hutan suaka memang dapat melindungi hutan, sayangnya status ini tidak sekaligus memberi perlindungan pada Masyarakat Adat di enam kenegerian.
Tanpa pilihan ekonomi lain yang memadai karena terbatasnya akses mengelola lahan, banyak masyarakat Kenegerian Terusan yang terpaksa mengeksploitasi sumber daya hutan, walaupun sadar hal ini akan berdampak buruk bagi lingkungan. Pada akhirnya eksploitasi membabi buta mengancam kehidupan masyarakat adat yang sangat bergantung pada alam. Salah satu dari dua penyebab utama deforestasi di Riau disinyalir berasal dari kekosongan pengelolaan di tingkat tapak.
Awalnya, Bukit Suligi adalah wilayah kelola Masyarakat Adat. Namun, sejak negara mengambil peran penguasaan lahan sesuai mandat UU Pokok Kehutanan tahun 1967, perlahan tapi pasti terjadi pengurangan wilayah adat dan pembatasan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan di kawasan tersebut. Pada tahun 1990-an, bersamaan dengan era pengusahaan hutan, muncul mata pencaharian alternatif berupa pembalakan kayu yang menawarkan uang tunai lebih besar dan cepat. Tanpa opsi ekonomi yang berkelanjutan, pembalakan liar terus menjadi ancaman bagi keberlanjutan hutan dan sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) dapat menjadi solusi ekonomi yang berkelanjutan dan adil bagi masyarakat adat sekaligus memecahkan permasalahan tersebut diatas. Dengan basis kearifan dan potensi lokal, BUMMA diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan serta mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada. Dengan BUMMA Subayang sebagai payung, dan dukungan Pendanaan Langsung Nusantara Fund – salah satu kelompok usaha dari BUMMA Subayang, Kelompok Usaha Milik Masyarakat Adat (KUMMA) RISBE di Kenegerian Terusan memulai budidaya kelulut (trigona) dan jahe. Komoditas ini dipilih karena memiliki potensi ekonomi tinggi dan tidak memerlukan pemeliharaan rumit.
KUMMA RISBE mendatangkan 20 sarang kelulut yang siap panen sebagai langkah awal, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk langsung melihat hasil ekonomi budidaya dan memudahkan adaptasi pengelolaan. Sarang-sarang kelulut ditempatkan di pekarangan lima kepala keluarga anggota kelompok untuk memudahkan pemantauan. Para perempuan adat turun langsung dalam perawatan & panen kelulut. Partisipasi perempuan adat diharapkan dapat memperkuat perannyadalam mendukung ekonomi keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Hasil panen perdana pada akhir April 2024 mencapai 8 kilogram madu murni, dua kali lipat dari target awal yang diperkirakan hanya 4 kilogram. Panen kedua dijadwalkan pada Agustus 2024, dengan harapan hasilnya akan lebih baik karena kondisi cuaca yang lebih bersahabat. Di sisi lain, budidaya jahe yang dilakukan perempuan Adat Kenegerian Terusan menghadapi tantangan. Hujan terus-menerus membuat sebagian besar bibit jahe mati membusuk. Beberapa benih jahe ada yang tumbuh namun tidak maksimal ukurannya walaupun sudah diberikan perlakuan khusus Namun, perempuan adat tidak menyerah. Mereka berencana melanjutkan budidaya jahe dengan pembiayaan mandiri dan pembelajaran dari pengalaman kegagalan.
Meskipun budidaya kelulut belum sepenuhnya meningkatkan perekonomian, tapi ada potensi besar untuk alternatif penghasilan yang lebih berkelanjutan. Sejumlah anggota masyarakat bahkan mulai tergerak untuk mencoba budidaya kelulut secara mandiri, dengan beberapa orang mencari sarang kelulut alami di hutan untuk dikembangkan lebih lanjut. Anggota KUMMA RISBE memainkan peran penting dalam menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat Kenegerian Terusan mengenai prospek ekonomi budidaya madu kelulut. KUMMA RISBE juga memberikan contoh nyata bahwa jika serius mengelola madu kelulut dapat membuka peluang ekonomi yang lebih berkelanjutan sekaligus menjadi tabungan jangka panjang bagi masyarakat.
Setelah usaha budidaya madu kelulut, menurut informasi dari pengurus KUMMA Risbe jumlah kepala keluarga yang terlibat dalam perambahan hutan berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa model ekonomi kolektif berbasis komunitas Masyarakat Adat dapat menjadi solusi efektif dalam melestarikan lingkungan sambil menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan. KUMMA RISBE terus bertekad memperkuat budidaya kelulut dan meningkatkan kapasitas anggotanya, menjadikan Kenegerian Terusan sebagai model inspiratif bagi masyarakat adat di Luhak Batu Songgan. Budidaya madu kelulut diharapkan tidak hanya menjadi sumber pendapatan yang stabil, tetapi juga cara bagi komunitas adat untuk mempertahankan hak atas wilayah mereka dan menjaga kelestarian lingkungan bagi generasi mendatang.
Kenegerian Terusan adalah satu dari enam kenegerian yang ada di antara aliran Sungai Subayang, Riau,. Enam kenegerian tersebut adalah Batu Songgan, Malako Kociak, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Kenegerian Terusan, dan Pangkalan Serai. Masyarakat adat enam kenegerian tersebut telah mendiami wilayah itu sejak masa Kerajaan Kuntu Darussalam pada sekitar abad ke 12-14 Masehi. Wilayah adat enam kenegerian ini masuk ke dalam Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling seluas total 141.226,25 Ha dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 3977/Menhut-VIII/KUH/2014.
Pada tahun 2019, upaya panjang mereka mendapatkan pengakuan berbuah hasil melalui Surat Keputusan Bupati Kampar tentang pengakuan Masyarakat Adat dan Hak Tanah Ulayat Kenegerian Terusan. Namun, untuk pengakuan penuh hutan adat di wilayah mereka – termasuk Hutan Adat Imbo Papan (77 hektare), Hutan Adat Bukik Kojan (369 hektare), dan Hutan Adat Imbo Kopuang (321 hektare) – masyarakat masih terombang-ambing menunggu keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejak permohonan diajukan pada tahun 2018 dan 2019.
Penetapan kawasan suaka margasatwa membawa dampak besar bagi kehidupan Masyarakat Adat. Sebelum status diterapkan, masyarakat di Kenegerian Terusan secara mandiri memproduksi bahan pangan, mulai dari padi, umbi-umbian, hingga bumbu dapur. Namun, penetapan status hutan suaka membatasi mereka untuk mengelola lahan, sehingga ketergantungan terhadap bahan pangan dari kota meningkat. Bukan cuma berdampak pada kedaulatan pangan, tetapi juga mempengaruhi pola ekonomi masyarakat yang dulunya produktif menjadi lebih konsumtif. Status hutan suaka memang dapat melindungi hutan, sayangnya status ini tidak sekaligus memberi perlindungan pada Masyarakat Adat di enam kenegerian.
Tanpa pilihan ekonomi lain yang memadai karena terbatasnya akses mengelola lahan, banyak masyarakat Kenegerian Terusan yang terpaksa mengeksploitasi sumber daya hutan, walaupun sadar hal ini akan berdampak buruk bagi lingkungan. Pada akhirnya eksploitasi membabi buta mengancam kehidupan masyarakat adat yang sangat bergantung pada alam. Salah satu dari dua penyebab utama deforestasi di Riau disinyalir berasal dari kekosongan pengelolaan di tingkat tapak.
Awalnya, Bukit Suligi adalah wilayah kelola Masyarakat Adat. Namun, sejak negara mengambil peran penguasaan lahan sesuai mandat UU Pokok Kehutanan tahun 1967, perlahan tapi pasti terjadi pengurangan wilayah adat dan pembatasan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan di kawasan tersebut. Pada tahun 1990-an, bersamaan dengan era pengusahaan hutan, muncul mata pencaharian alternatif berupa pembalakan kayu yang menawarkan uang tunai lebih besar dan cepat. Tanpa opsi ekonomi yang berkelanjutan, pembalakan liar terus menjadi ancaman bagi keberlanjutan hutan dan sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) dapat menjadi solusi ekonomi yang berkelanjutan dan adil bagi masyarakat adat sekaligus memecahkan permasalahan tersebut diatas. Dengan basis kearifan dan potensi lokal, BUMMA diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan serta mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada. Dengan BUMMA Subayang sebagai payung, dan dukungan Pendanaan Langsung Nusantara Fund – salah satu kelompok usaha dari BUMMA Subayang, Kelompok Usaha Milik Masyarakat Adat (KUMMA) RISBE di Kenegerian Terusan memulai budidaya kelulut (trigona) dan jahe. Komoditas ini dipilih karena memiliki potensi ekonomi tinggi dan tidak memerlukan pemeliharaan rumit.
KUMMA RISBE mendatangkan 20 sarang kelulut yang siap panen sebagai langkah awal, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk langsung melihat hasil ekonomi budidaya dan memudahkan adaptasi pengelolaan. Sarang-sarang kelulut ditempatkan di pekarangan lima kepala keluarga anggota kelompok untuk memudahkan pemantauan. Para perempuan adat turun langsung dalam perawatan & panen kelulut. Partisipasi perempuan adat diharapkan dapat memperkuat perannyadalam mendukung ekonomi keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Hasil panen perdana pada akhir April 2024 mencapai 8 kilogram madu murni, dua kali lipat dari target awal yang diperkirakan hanya 4 kilogram. Panen kedua dijadwalkan pada Agustus 2024, dengan harapan hasilnya akan lebih baik karena kondisi cuaca yang lebih bersahabat. Di sisi lain, budidaya jahe yang dilakukan perempuan Adat Kenegerian Terusan menghadapi tantangan. Hujan terus-menerus membuat sebagian besar bibit jahe mati membusuk. Beberapa benih jahe ada yang tumbuh namun tidak maksimal ukurannya walaupun sudah diberikan perlakuan khusus Namun, perempuan adat tidak menyerah. Mereka berencana melanjutkan budidaya jahe dengan pembiayaan mandiri dan pembelajaran dari pengalaman kegagalan.
Meskipun budidaya kelulut belum sepenuhnya meningkatkan perekonomian, tapi ada potensi besar untuk alternatif penghasilan yang lebih berkelanjutan. Sejumlah anggota masyarakat bahkan mulai tergerak untuk mencoba budidaya kelulut secara mandiri, dengan beberapa orang mencari sarang kelulut alami di hutan untuk dikembangkan lebih lanjut. Anggota KUMMA RISBE memainkan peran penting dalam menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat Kenegerian Terusan mengenai prospek ekonomi budidaya madu kelulut. KUMMA RISBE juga memberikan contoh nyata bahwa jika serius mengelola madu kelulut dapat membuka peluang ekonomi yang lebih berkelanjutan sekaligus menjadi tabungan jangka panjang bagi masyarakat.
Setelah usaha budidaya madu kelulut, menurut informasi dari pengurus KUMMA Risbe jumlah kepala keluarga yang terlibat dalam perambahan hutan berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa model ekonomi kolektif berbasis komunitas Masyarakat Adat dapat menjadi solusi efektif dalam melestarikan lingkungan sambil menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan. KUMMA RISBE terus bertekad memperkuat budidaya kelulut dan meningkatkan kapasitas anggotanya, menjadikan Kenegerian Terusan sebagai model inspiratif bagi masyarakat adat di Luhak Batu Songgan. Budidaya madu kelulut diharapkan tidak hanya menjadi sumber pendapatan yang stabil, tetapi juga cara bagi komunitas adat untuk mempertahankan hak atas wilayah mereka dan menjaga kelestarian lingkungan bagi generasi mendatang.