
Masyarakat Adat Kepulauan Mentawai : Goiso’oinan | Rokot | Matobe | Saureinu | Sakaleak | Sakerebau | Sagurujuw | Sakulok
Program
Mendorong Pengakuan Hutan Adat di Kepulauan Mentawai
Organisasi Penanggung Jawab
Lokasi
Pendanaan Langsung
Periode
Mulai
Berakhir
Target
Status
Bagikan ke :
Delapan Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai Perkuat Pengakuan, Pemulihan, Pengelolaan Wilayah Adat
Delapan Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai yakni Goiso’oinan, Rokot, Matobe, Saureinu, Sakaleak, Sakerebau, Sagurujuw dan Sakulok, melakukan serangkaian langkah untuk memperkuat pengakuan dan perlindungan atas wilayah adatnya seluas 24.212,51 hektar.
Upaya ini bermula dari kondisi sebagian besar wilayah adat yang belum mendapat pengakuan negara. Kondisi ini membuat banyak yang enggan terlibat aktif dalam pengelolaan wilayah adat, sehingga potensi ekonomi yang ada jadi tidak tergarap secara optimal. Keterbatasan komunikasi antara dengan pemerintah daerah juga menjadi hambatan dalam proses pengambilan keputusan teknis yang berkaitan dengan wilayah adat.
Melalui diskusi kelompok terfokus (FGD) tentang pengakuan dan perlindungan Hutan Adat, Masyarakat Adat mulai membangun kembali jalur komunikasinya dengan pemerintah. Dalam forum ini, Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai yakni: Goiso’oinan, Rokot, Matobe, Saureinu, Sakaleak, Sakerebau, Sagurujuw dan Sakulok, memperoleh informasi tentang prosedur pengajuan pengakuan wilayah adat berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2017 serta kebijakan dari pemerintah pusat melalui Permen LHK No. 17 Tahun 2020.
Masyarakat Adat juga mengetahui kendala verifikasi bagi yang telah mengajukan dokumen untuk pengakuan hutan adat, yakni kendala pendanaan di pihak pemda sebagai akibat dari efisiensi anggaran serta belum adanya bupati definitif. Informasi terbaru juga didapatkan bahwa Komunitas Masyarakat Adat yang telah memiliki Surat Keputusan (SK) Wilayah adat dapat mengajukan dokumen hutan adat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dalam forum ini terbangun pemahaman bersama Masyarakat Adat bahwa wilayah adat yang belum diakui secara hukum berisiko besar menjadi sasaran dicaplok pihak luar, termasuk melalui perizinan di sektor kehutanan dan perkebunan. Pemahaman ini memperjelas urgensi upaya pengakuan dan perlindungan wilayah adat agar tidak kehilangan ruang hidup yang telah dikelola secara turun-temurun.
Dengan pemahaman yang lebih kuat, Masyarakat Adat mulai mengidentifikasi berbagai risiko terhadap wilayah adat. Misal, ketika muncul rencana pemanfaatan hutan oleh pihak luar, Masyarakat Adat di Pulau Sipora mengadakan musyawarah dan secara tegas menolak rencana tersebut. Mereka mengirim surat kepada pihak berwenang agar tidak melanjutkan proses perizinan yang berpotensi mengganggu ruang hidup mereka. Penolakan juga muncul terhadap rencana masuknya perkebunan berskala besar yang dikhawatirkan akan mengurangi luas wilayah adat dan kelestarian lingkungan apabila dialihkan menjadi Hak Guna Usaha (HGU).
Seiring dengan penguatan aspek legal dan kelembagaan, Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai, Goiso’oinan, Rokot, Matobe, Saureinu, Sakaleak, Sakerebau, Sagurujuw, dan Sakulok juga menjalankan kegiatan rehabilitasi wilayah adat dengan membangun tempat pembibitan. Bibit tanaman lokal seperti jengkol, durian, dan pala disiapkan untuk ditanam di lahan-lahan kritis di wilayah adat yang telah diidentifikasi sebelumnya. Penanaman dilakukan untuk memulihkan fungsi ekologis wilayah adat serta menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya dengan jalur pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) bernilai ekonomi.
Untuk memastikan keberlanjutan dari sisi ekonomi, pengolahan dan pemasaran produk makanan dengan bahan baku dari hutan adat mulai dilakukan. Produk makanan dari pisang dan keladi diolah secara mandiri dan dipasarkan dalam skala kecil ke pasar lokal. Untuk keperluan ini, komunitas menyewa tempat yang digunakan sebagai lokasi pengolahan dan titik distribusi sementara.
Delapan Masyarakat Adat di Kepulauan Mentawai Goiso’oinan, Rokot, Matobe, Saureinu, Sakaleak, Sakerebau, Sagurujuw dan Sakulok) sekarang punya pemahaman yang lebih mendalam tentang mekanisme yang harus dilalui untuk memperoleh pengakuan wilayah adat dan mengidentifikasi hambatan administratif yang ada. Model awal pemulihan dan pengelolaan wilayah adat juga tak luput ditekuni lebih jauh. Dengan cara yang Masyarakat Adat Kepulauan Mentawai kenal: musyawarah, gotong royong, dan berpijak pada nilai dan pengetahuan Masyarakat Adat dalam mengelola dan menjaga kelestarian hutan adat.




