Perempuan AMAN Tilung Indung
Program
Perkebunan Tumpang Sari dan Pendidikan untuk Buta Huruf Perempuan Adat Desa Hinas Kiri
Organisasi Pendamping
Lokasi
Pendanaan Langsung
Periode
Mulai
Berakhir
Target
Status
Bagikan ke :
Perempuan AMAN PHD Tilung Indung: Perpadanan Literasi Perempuan Adat dan Pertanian Tumpangsari
Komunitas Perempuan AMAN PHD Tilung Indung adalah bagian dari Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (AMAN), yang memiliki fokus utama pada advokasi hak-hak Perempuan Adat di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Komunitas terbentuk sebagai respons terhadap kebutuhan Perempuan Adat untuk memiliki wadah sendiri dalam menyuarakan pendapat, melindungi hak-hak mereka, dan menjaga warisan leluhur yang mencakup budaya dan praktik tradisional. Beranggotakan 31 Perempuan dari beberapa komunitas lokal, Perempuan AMAN PHD Tilung Indung aktif dalam berbagai kegiatan advokasi, pelestarian alam, serta pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pengelolaan sumber daya. Isu utama yang mereka perjuangkan meliputi pendidikan yang inklusif dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
Dari segala aktivitasnya, Komunitas Perempuan AMAN PHD Tilung Indung menyadari pentingnya program terpadu yang dapat menjawab kebutuhan dasar komunitas mereka, terutama di bidang kedaulatan pangan dan literasi Perempuan. Dengan latar belakang ini, mereka merancang program perkebunan tumpang sari dan pendidikan untuk buta huruf bagi Perempuan Adat. Program memiliki dua fokus utama yang terintegrasi: perkebunan tumpang sari dan pendidikan untuk buta huruf Perempuan Adat. Kegiatan dirancang untuk menjawab kebutuhan esensial komunitas Perempuan Adat di Desa Hinas Kiri.
Dalam kegiatan perkebunan tumpang sari, Perempuan Adat memanfaatkan lahan seluas satu hektar yang telah dipersiapkan bersama untuk ditanami berbagai jenis tanaman. Persiapan dimulai dengan diskusi kelompok yang diadakan untuk merencanakan jenis bibit yang akan ditanam, metode tanam, serta waktu penanaman. Bibit yang dipilih meliputi bibit mentimun, bibit kacang panjang, bibit jagung manis, dan bibit cabe rawit. Kegiatan penanaman berlangsung dalam suasana gotong royong, di mana anggota kelompok saling membantu menanam bibit, memastikan tanah digemburkan, dan menciptakan alur-alur air untuk menghindari genangan yang dapat merusak tanaman.
Berkebun dengan menerapkan sistem tumpangsari, komunitas Perempuan Adat menjaga keberagaman jenis tanaman untuk menjaga keseimbangan ekologis.. Model ini mencerminkan pengelolaan sumber daya berkelanjutan karena mampu meminimalkan risiko gagal panen dan meningkatkan produktivitas dan kesuburan tanah tanpa merusak ekosistem. Keragaman tanaman dalam tumpangsari menekan pertumbuhan hama tertentu secara alami, sehingga perempuan adat mampu mempertahankan produksi pertanian yang stabil dan efisien dan ketergantungan pada pestisida kimia berkurang. Selain itu, hasil panen yang dikelola secara kolektif memperkuat tata kelola ekonomi komunitas, di mana keuntungan dari penjualan hasil panen digunakan untuk mendukung aktivitas kelompok dan membeli bibit tambahan, menciptakan siklus produksi yang mandiri dan berkelanjutan.
Dalam kurun waktu tiga hari, kelompok Perempuan Adat dapat memanen sekitar 25-40 kg mentimun, 2 kg kacang panjang, 1 kg cabe rawit, serta beberapa buah jagung manis. Sebagian hasil panen dijual ke masyarakat lokal sebagai upaya memperkuat kedaulatan pangan dan sumber pendapatan bagi komunitas. Penjualan hasil panen dikelola secara kolektif, di mana keuntungan yang diperoleh digunakan untuk membeli bibit tambahan atau peralatan berkebun, dan sebagian dialokasikan untuk dana kelompok. Bagian hasil lainnya dibagikan kepada anggota, sehingga setiap keluarga dapat membawa pulang hasil bumi untuk kebutuhan sehari-hari.
Di samping kegiatan perkebunan, berlangsung pendidikan buta huruf yang ditujukan untuk Perempuan Adat yang selama ini belum memiliki kesempatan untuk belajar. Pendidikan menjadi prioritas karena banyak Perempuan di Desa Hinas Kiri yang tidak dapat membaca dan menulis akibat keterbatasan akses pendidikan dan kewajiban rumah tangga yang menyita waktu. Kelas-kelas pendidikan diadakan dalam bentuk pertemuan rutin yang berlangsung delapan kali setiap bulan.
Sebanyak 20 Perempuan Adat sudah mampu membaca 2-3 kata dan menulis nama mereka serta anggota keluarga, sementara 10 Perempuan Adat lainnya berhasil menguasai kemampuan membaca kalimat yang lebih panjang. Dengan kemampuan baru, mereka lebih percaya diri untuk menghadiri pertemuan desa, mengisi daftar hadir, dan membaca label atau nama barang di toko tanpa harus bergantung pada gambar atau bentuk saja. Perempuan Adat yang dulunya tidak aktif kini terlibat dalam diskusi dan pengambilan keputusan komunitas semakin percaya diri, peningkatan kemampuan literasi di kalangan Perempuan Adat tentunya akan mengubah dinamika partisipasi mereka dalam komunitas.
Dengan kemampuan membaca dan menulis, Perempuan Adat tidak hanya dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi lokal seperti penjualan hasil panen, tetapi juga lebih memahami informasi yang relevan terkait pengelolaan sumber daya dan hak-hak mereka. Literasi memungkinkan mereka untuk berkomunikasi lebih efektif dan ikut serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pengelolaan lahan dan kebijakan lokal. Pendidikan literasi membantu perempuan adat memperluas wawasan mereka tentang praktik berkelanjutan. Baik dalam pengelolaan lahan berkelanjutan maupun aspek kehidupan lainnya. Dengan pemahaman yang lebih baik, mereka dapat mengadopsi dan mengajarkan praktik-praktik yang mendukung kelestarian lingkungan, seperti penggunaan metode tanam yang ramah lingkungan dan penanganan sumber daya air secara bijaksana.