PROGRAM
Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek
ORGANISASI PENDAMPING : |
AMAN
|
LOKASI : |
Lebak, Banten
|
PENDANAAN LANGSUNG |
Rp100.000.000,-
|
PERIODE : |
|
TARGET : |
Rehabilitasi dan restorasi terhadap 3,5 juta hektar Wilayah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal, Ekonomi berkeadilan dan berkelanjutan, selaras dengan prinsip-prinsip Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal
|
AKTIVITAS KUNCI : | |
STATUS : |
Selesai
|
JUDUL PROGRAM : |
Budidaya Tanaman Buah-Buahan dan Kayu untuk Pengembangan Ekonomi Masyarakat Adat Wewengkon Citorek serta untuk Mengelola Hutan Adat yang Lestari
|
Tradisi dan Alam: Sinergi Berlanjutan di Wewengkon Citorek
Di antara rimbun dan hijaunya hutan Pegunungan Halimun, Kabupaten Lebak, Banten, Masyarakat Adat Wewengkon Citorek hidup dengan memegang teguh warisan leluhur. Wewengkon ini menjadi salah satu benteng terakhir dari tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun, termasuk kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk kehidupan dan penghidupan mereka. Salah satu filosofi hidup utama yang dipegang erat oleh masyarakat Citorek adalah “saetik mahi loba nyesa,” yang berarti “sedikit cukup banyak ada sisanya.” Filosofi ini mencerminkan prinsip kesederhanaan dalam pengelolaan sumber penghidupan—hanya mengambil apa yang diperlukan dan selalu menyisakan dan menjaga keseimbangan untuk generasi mendatang.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Masyarakat Adat Wewengkon Citorek menghadapi ragam tantangan yang semakin kompleks. Modernisasi yang merambah hingga ke pedesaan, penetrasi teknologi yang mengubah cara hidup, dan meningkatnya tekanan terhadap lahan hutan adat mereka menjadi realitas yang tak terhindarkan. Nilai-nilai adat yang mereka pertahankan sering kali berbenturan dengan arus perubahan zaman, menciptakan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara melestarikan tradisi atau beradaptasi dengan kemajuan.
Dengan dukungan Pendanaan Langsung Nusantara Fund dalam upaya memastikan relevansi adat dan tradisi dalam menghadapi tantangan dan hutan adat mereka tetap terlindungi maka Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek sepakat untuk mendirikan rumah pembibitan, sebuah pusat pembiakan bibit pohon yang dibangun dari bambu dan kayu hasil hutan adat Citorek. Bahan-bahan diambil secukupnya dengan penuh pertimbangan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian hutan. Secara gotong royong, 12 anggota masyarakat—termasuk pemuda dan perempuan adat—bersama-sama membangun tempat ini, Selanjutnya, lebih dari 180 kg total benih albasia; jengkol; manggis; nangka; dan mahoni serta bibit petai (50 ikat); aren (2000 buah); dan durian (50 buah) dibagikan kepada 5 kelompok Kasepuhan Citorek. Benih dan bibit ini nantinya akan ditanam secara bertahap di Hutan Adat Citorek, yang telah menjadi sumber kehidupan bagi mereka dari generasi ke generasi. Fokus jangka panjang mereka ada pada pelestarian hutan, sembari memastikan hutan tersebut tetap produktif untuk penghidupan masyarakat adat.
Selain hutan adat, pertanian menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Adat Wewengkon Citorek. Masyarakat Adat Citorek memandang padi bukan hanya sebagai sumber pangan, tetapi juga sebagai simbol spiritual yang dihormati sebagai jelmaan Dewi Sri. Setiap tahap dalam proses bertani dihiasi dengan ritual dan tradisi adat, yang menekankan pentingnya kebersamaan serta rasa syukur terhadap alam. Ritual adat yang menyertai aktivitas pertanian merupakan bagian integral dari kehidupan religi masyarakat adat Masyarakat Adat Wewengkon Citorek. Mereka menanam varietas padi huma yang dipanen setahun sekali, tumbuh tanpa pestisida atau pupuk kimia, mampu bertahan di lahan kering, dan dapat disimpan hingga 50 tahun di leuit (lumbung padi). Dengan mempertahankan sistem pertanian tradisional, pola pertanian tradisional selaras alam dapat menjaga keseimbangan ekosistem karena bebas dari resiko degradasi tanah.
Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek menyadari pentingnya langkah strategis untuk mencapai kemandirian ekonomi kolektif di tengah persaingan pasar yang terus berubah, Untuk menjawab kebutuhan, Kasepuhan Citorek membentuk Kelompok Usaha Masyarakat Adat (KUMA) dengan tujuan mengembangkan ekonomi kolektif yang tetap berakar pada nilai-nilai adat. Dalam musyawarah adat yang dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan adat, seperti Kaolotan Citorek, Perempuan Adat, Masyarakat Adat, dan Pemuda Adat, disepakati pendirian KUMA MILA KENCANA sebagai merk dagang. Nama ini kemudian didaftarkan secara resmi dan mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).Yang merupakan langkah penting, bukan hanya untuk memenuhi aspek legalitas tetapi juga untuk memberi nilai tambah pada produk unggulan mereka “Beras Merah Citorek” dan kerajinan tangan dari bambu agar lebih kompetitif dan tinggi nilainya dalam persaingan pasar.
Dengan adanya KUMA MILAKANCANA, masyarakat Citorek berharap dapat mengembangkan potensi produk lokal yang bukan hanya sebagai sumber penghidupan, juga sebagai bagian menjaga keberlangsungan identitas dan warisan budaya mereka. Karena mengangkat kesejahteraan masyarakat tidak melulu harus dengan cara mengorbankan nilai-nilai tradisional dalam prosesnya. Inisiatif ini membuka ruang lebih besar bagi orang muda untuk terlibat lebih aktif dalam membangun ekonomi kolektif berbasis potensi lokal yang berkelanjutan tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional mereka.
Dalam Pendanaan Langsung Nusantara Fund, Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek mendapat keleluasaan penuh dalam merancang dan menjalankan program yang sesuai dengan prinsip, kebutuhan, dan nilai-nilai mereka. Yang memungkinkan Masyarakat Adat Citorek untuk terus teguh pada kearifan lokal dalam berbagai inisiatif keberlanjutan yang selaras dengan alam. Rumah pembibitan, reboisasi hutan adat, pertanian ramah lingkungan, serta pengembangan ekonomi kolektif melalui KUMA MILAKANCANA meningkatkan daya tahan Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek Citorek dari gempuran modernitas yang terkadang tak terlalu berpihak pada Masyarakat Adat.
Sebagai masyarakat adat yang telah lama hidup berdampingan dengan alam, Citorek memahami pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem untuk kesejahteraan generasi mendatang. Citorek menguatkan pesan bahwa tradisi dan kemajuan dapat berjalan seiring. Bagi mereka, mempertahankan identitas & warisan leluhur serta menjaga alam bukanlah penghalang untuk beradaptasi dengan zaman, melainkan menjadi kekuatan dalam membangun masa depan yang berkelanjutan.
Di antara rimbun dan hijaunya hutan Pegunungan Halimun, Kabupaten Lebak, Banten, Masyarakat Adat Wewengkon Citorek hidup dengan memegang teguh warisan leluhur. Wewengkon ini menjadi salah satu benteng terakhir dari tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun, termasuk kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk kehidupan dan penghidupan mereka. Salah satu filosofi hidup utama yang dipegang erat oleh masyarakat Citorek adalah “saetik mahi loba nyesa,” yang berarti “sedikit cukup banyak ada sisanya.” Filosofi ini mencerminkan prinsip kesederhanaan dalam pengelolaan sumber penghidupan—hanya mengambil apa yang diperlukan dan selalu menyisakan dan menjaga keseimbangan untuk generasi mendatang.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Masyarakat Adat Wewengkon Citorek menghadapi ragam tantangan yang semakin kompleks. Modernisasi yang merambah hingga ke pedesaan, penetrasi teknologi yang mengubah cara hidup, dan meningkatnya tekanan terhadap lahan hutan adat mereka menjadi realitas yang tak terhindarkan. Nilai-nilai adat yang mereka pertahankan sering kali berbenturan dengan arus perubahan zaman, menciptakan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara melestarikan tradisi atau beradaptasi dengan kemajuan.
Dengan dukungan Pendanaan Langsung Nusantara Fund dalam upaya memastikan relevansi adat dan tradisi dalam menghadapi tantangan dan hutan adat mereka tetap terlindungi maka Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek sepakat untuk mendirikan rumah pembibitan, sebuah pusat pembiakan bibit pohon yang dibangun dari bambu dan kayu hasil hutan adat Citorek. Bahan-bahan diambil secukupnya dengan penuh pertimbangan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan kelestarian hutan. Secara gotong royong, 12 anggota masyarakat—termasuk pemuda dan perempuan adat—bersama-sama membangun tempat ini, Selanjutnya, lebih dari 180 kg total benih albasia; jengkol; manggis; nangka; dan mahoni serta bibit petai (50 ikat); aren (2000 buah); dan durian (50 buah) dibagikan kepada 5 kelompok Kasepuhan Citorek. Benih dan bibit ini nantinya akan ditanam secara bertahap di Hutan Adat Citorek, yang telah menjadi sumber kehidupan bagi mereka dari generasi ke generasi. Fokus jangka panjang mereka ada pada pelestarian hutan, sembari memastikan hutan tersebut tetap produktif untuk penghidupan masyarakat adat.
Selain hutan adat, pertanian menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Adat Wewengkon Citorek. Masyarakat Adat Citorek memandang padi bukan hanya sebagai sumber pangan, tetapi juga sebagai simbol spiritual yang dihormati sebagai jelmaan Dewi Sri. Setiap tahap dalam proses bertani dihiasi dengan ritual dan tradisi adat, yang menekankan pentingnya kebersamaan serta rasa syukur terhadap alam. Ritual adat yang menyertai aktivitas pertanian merupakan bagian integral dari kehidupan religi masyarakat adat Masyarakat Adat Wewengkon Citorek. Mereka menanam varietas padi huma yang dipanen setahun sekali, tumbuh tanpa pestisida atau pupuk kimia, mampu bertahan di lahan kering, dan dapat disimpan hingga 50 tahun di leuit (lumbung padi). Dengan mempertahankan sistem pertanian tradisional, pola pertanian tradisional selaras alam dapat menjaga keseimbangan ekosistem karena bebas dari resiko degradasi tanah.
Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek menyadari pentingnya langkah strategis untuk mencapai kemandirian ekonomi kolektif di tengah persaingan pasar yang terus berubah, Untuk menjawab kebutuhan, Kasepuhan Citorek membentuk Kelompok Usaha Masyarakat Adat (KUMA) dengan tujuan mengembangkan ekonomi kolektif yang tetap berakar pada nilai-nilai adat. Dalam musyawarah adat yang dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan adat, seperti Kaolotan Citorek, Perempuan Adat, Masyarakat Adat, dan Pemuda Adat, disepakati pendirian KUMA MILA KENCANA sebagai merk dagang. Nama ini kemudian didaftarkan secara resmi dan mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).Yang merupakan langkah penting, bukan hanya untuk memenuhi aspek legalitas tetapi juga untuk memberi nilai tambah pada produk unggulan mereka “Beras Merah Citorek” dan kerajinan tangan dari bambu agar lebih kompetitif dan tinggi nilainya dalam persaingan pasar.
Dengan adanya KUMA MILAKANCANA, masyarakat Citorek berharap dapat mengembangkan potensi produk lokal yang bukan hanya sebagai sumber penghidupan, juga sebagai bagian menjaga keberlangsungan identitas dan warisan budaya mereka. Karena mengangkat kesejahteraan masyarakat tidak melulu harus dengan cara mengorbankan nilai-nilai tradisional dalam prosesnya. Inisiatif ini membuka ruang lebih besar bagi orang muda untuk terlibat lebih aktif dalam membangun ekonomi kolektif berbasis potensi lokal yang berkelanjutan tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional mereka.
Dalam Pendanaan Langsung Nusantara Fund, Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek mendapat keleluasaan penuh dalam merancang dan menjalankan program yang sesuai dengan prinsip, kebutuhan, dan nilai-nilai mereka. Yang memungkinkan Masyarakat Adat Citorek untuk terus teguh pada kearifan lokal dalam berbagai inisiatif keberlanjutan yang selaras dengan alam. Rumah pembibitan, reboisasi hutan adat, pertanian ramah lingkungan, serta pengembangan ekonomi kolektif melalui KUMA MILAKANCANA meningkatkan daya tahan Wewengkon Adat Kasepuhan Citorek Citorek dari gempuran modernitas yang terkadang tak terlalu berpihak pada Masyarakat Adat.
Sebagai masyarakat adat yang telah lama hidup berdampingan dengan alam, Citorek memahami pentingnya menjaga keberlanjutan ekosistem untuk kesejahteraan generasi mendatang. Citorek menguatkan pesan bahwa tradisi dan kemajuan dapat berjalan seiring. Bagi mereka, mempertahankan identitas & warisan leluhur serta menjaga alam bukanlah penghalang untuk beradaptasi dengan zaman, melainkan menjadi kekuatan dalam membangun masa depan yang berkelanjutan.